Dialektika Keadaban: Hal yang Tertinggal Dari Dinamika Keilmuan

Raka Rahmana Putra

(Ketua Bidang RPK PC IMM AR Fakhruddin Kota Yogyakarta 2023/2024)


Sebuah karya yang butuh dilestarikan dalam dinamika keilmuan, khususnya bagi IMM. Buah pikiran yang hadir dari manusia-manusia yang melihat dan merasakan, betapa sekarang dunia semakin sulit untuk dijalani. Politik, sosial, dan budaya menjadi term pembahasan yang terkandung dalam karya yang luar biasa ini. Tiga term pembahasan tersebut tidak lalu kemudian hanya sebagai upaya merefkelsikan tetapi sebagai “api” bahan bakar berjalannya peradaban.

 

Setidaknya kader IMM telah berhasil menjadi seorang yang disebut oleh Walter Benjamin sebagai “Flaneuris”, yakni orang yang menghabiskan waktunya untuk berjalan di kota, berhenti sejenak untuk mengamati orang-orang dan situasi di sekitarnya. Mengunjungi pasar, kafe, dan tempat-tempat umum lainnya. Kemudian merenungkan pengalaman yang dialami di tengah-tengah kerumunan kota (Plate, 2005).

Tentu figur Flaneur ini penting bagi dinamika peradaban. Kita mungkin bisa membayangkan bagaimana sebuah upaya-upaya perenungan dan pemikiran kritis telah mati. Jika hal tersebut memang telah terjadi, kita tinggal menunggu saja kematian peradaban. Tidak ada lagi upaya pembangunan pikiran, proyek besar-besaran yang tidak memikirkan konsekuensi dampak negatif, pembentukan budaya oleh dominasi politik, dan semakin melebarnya jurang kesenjangan sosial, menjadi hal yang wajar dan terkesan dibiarkan.

Apalagi jika itu terjadi di IMM, maka ia telah gagal menjadi harapan bangsa, umat, dan persyarikatan. Gerakan intelektual mati di kandungan sendiri, mati sebelum ia dilahirkan. Masih banyak upaya dalam menghalau hal tersebut terjadi. Hadirnya karya ini bukanlah sebuah tujuan akhir dalam gerakan intelektual. Akan tetapi ia sebagai obor untuk memantik agar terus berjalannya budaya intelektual. Tentu dengan terus menggencarkan tradisi-tradisi intelektual itu sendiri, sejak dalam basis gerakan yang paling dasar.

Hal ini perlu untuk dilakukan mengingat Covid-19 lalu telah membuat gap generasi yang menyebabkan lesunya gerakan intelektual di hampir semua pergerakan Mahasiswa. Namun ada beberapa catatan penting untuk karya ini sebagai bentuk mengupayakan budaya intelektual tetap berjalan.

Kawan yang Terlupakan

Mungkin tidak disadari oleh kebanyakan kita bagaimana pengembangan keilmuan eksakta. Misal saja permasalahan kesehatan di negeri kita penulis rasa juga sebagai pembahasan yang diperlukan bagi keberlangsungan peradaban. Tanpa kita kehendaki atau sadari. banyak dari praktik-praktik keilmuan yang kita lalui atau selenggarakan di tubuh IMM sendiri telah mengasingkan studi ini. 

Mungkin memang kita ingin membawa perspektif baru kepada mahasiswa betapa terjadi banyak paradoks-paradoks sosial dalam masyarakat kita, mencoba untuk melawan pengkotakkan ilmu (falkutasisasi). Tapi apakah karena hal itu akhirnya kita harus membuat rumpun studi sosial-humaniora menjadi dominan? Dengan anggapan seperti itu kita tanpa sadar telah melakukan kejahatan metodologis. Mengenyampingkan yang satu (eksakta) dan mengutamakan yang lain (sosial-humaniora).

Filsafat, sosiologi, dan sejarah yang sekiranya sedang mandek perkembangannya, boleh jadi dikarenakan sempitnya perspektif kita. Kesempitan perspektif ini mungkin karena kita yang belum bisa melibatkan secara aktif orang yang sedang atau telah usai dalam proses pendidikannya dalam studi eksakta ini. IMM bukan milik soshum saja, ia miliki kita semua, dan kita semua perlu untuk membangunnya.

Sebagaimana Nietzsche juga menekankan pentingnya pluralitas dalam pemikiran dan pengetahuan. Dia menentang gagasan bahwa satu disiplin ilmu atau dapat memiliki kebenaran tunggal atau dominan. Sebaliknya, dia menyerukan untuk mempertahankan keragaman perspektif dan pendekatan, serta untuk mempertahankan kebebasan berpikir dan kritisisme terhadap otoritas intelektual (Nietzsche, 2003).

Hermeneutika dan Pengembangan Bahasa Sudah Tidak Laku

Kembali yang luput bagi kita mengenai satu pembahasan yang dirasa sangat penting. Ialah pembahasan Hermeneutik, baik dalam karya maupun agenda-agenda IMM hal ini sangat jarang menjadi sebuah pembahasan. Hal ini menandakan betapa tidak “sexy” pembahasan ini. Padahal Hermeneutika merupakan pembahasan yang penting juga pada bagaimana kita memahami teks-teks.

Hermeneutika padahal memiliki peranan vital juga dalam kita membangun sebuah peradaban. Derrida pernah mempertanyakan asumsi-asumsi dasar tentang bagaimana teks atau bahasa berfungsi. Ia menolak gagasan bahwa ada makna tetap atau kebenaran tunggal di balik teks atau bahasa (Derrida,1974) . Sebaliknya, ia berpendapat bahwa bahasa selalu terbuka terhadap interpretasi yang tidak terbatas, dan tidak mungkin untuk menetapkan makna yang tetap.

Dengan konsekuensi betapa pentingnya untuk kembali mendalami Hermeneutika, berarti juga mensyaratkan upaya penguasaan bahasa. Selain desakan tersebut situasi Pendidikan Tinggi sekarang juga semakin membuat penguasaan bahasa menjadi sangat penting. Pendidikan Tinggi yang mendorong seluruh akademisinya termasuk mahasiswa untuk melakukan penelitian. Selain itu semua, penguasaan bahasa dirasa penting untuk memasifkan nilai-nilai Ikatan, termasuk juga sebagai upaya kita berkontribusi dalam penelitian di kancah Internasional.

Overdosis Politik

Sebuah fenomena yang sedang menjangkiti IMM sekarang. “Semut di seberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tak tampak”. Begitu kiranya sedikit gambaran mengenai fenomena “overdosis politik” IMM. Dalam karya Dialektika Peradaban ini sangat nampak betapa orang-orang Ikatan begitu lihai mengkritik moralitas politik bangsa, seakan moral politik sendiri sudah sangat baik.

Memang kita tak perlu menunggu untuk mapannya kualitas politik Ikatan lalu kita bisa mengkritik politik bangsa. Akan tetapi sebuah peristiwa yang begitu miris ketika tak ada satupun tulisan yang coba membelah, mengupas, dan memberi tawaran strategis untuk kondisi perpolitikan Ikatan. Memang hal yang teknis, akan tetapi sekiranya dapat merepresentasikan betapa kurangnya kita untuk melihat kekurangan kita sendiri. Bagaimana bisa “bertobat” tanpa kita merefleksikan diri untuk sekedar mencari tahu “dosa” apa kiranya yang sudah kita lakukan.

Dialektika Keadaban Mau Dibawa Kemana?

Meskipun perlu untuk dikaji ulang, budaya Intelektual di tataran DIY sudah menjadi sebuah budaya yang relatif mapan. Hal ini tentu merupakan modalitas kita untuk membentuk sebuah formulasi gerakan sosial yang memiliki dampak. Namun hal tersebut sekiranya butuh kita lanjutkan dengan bentuk-bentuk proyeksi strategis IMM DIY kedepan. Proyeksi yang memiliki daya intelektual, moral, dan politik.

Dalam memproyeksikan langkah-langkah strategis tersebut butuh sebuah mind leader yang mumpuni juga. Mereka yang memilki wawasan wancana kedepan bukan dia yang kagetan. Sesosok individu yang paham betul permasalahan bukan dia yang didalam dirinya hanya memiliki muatan politik praktis saja. Dengan niat yang mulia dan dengan ketajaman intelektual yang mampu menembus masa.

Dengan modalitas suara-suara dari buah pikir kader se-DIY ini sudah mampu untuk menjadi gambaran umum mengenai kondisi bangsa dan IMM hari ini. Sudah semestinya take an action yang tentu bukan aksi terburu-buru atau pragmatis. IMM khususnya IM DIY, sudah mesti naik level suburkan wacana, dan proyeksikan langkah strategis.

Penutup

Sebuah kritik ini juga secara langsung diarahkan pada diri penulis sendiri. Juga tulisan ini saya persembahkan sebagai bentuk tindak lanjut pesan apa yang tersirat dalam karya “Dialektika Keadaban” ini. Bahwa karya ini menyiratkan sebuah bentuk perjuangan dalam menghadirkan gerakan keilmuan. Penulis juga turut berterimakasih kepada DPD IMM DIY khususnya bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan yang telah memberikan wadah buah pikiran kader. Namun hal yang menjadi kritik ini coba saya tawarkan kembali kepada kader untuk di diskusikan.

 


Referensi

Derrida, Jacques. Of Grammatology. IV ed., Baltimore, Johns Hopkins University Press, 2016.

Nietzsche, Freiderich. Beyond Good and Evil. Revisi ed., London, Penguin Publishing Group, 2003.

Plate, S. Brent. Walter Benjamin, Religion, and Aesthetics: Rethinking Religion Through the Arts. London, Routledge, 2005.

Tagged with:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *