Teologi Al Ma’un

Oleh: Muhammad Nabil

I. Pendahuluan

Muhammadiyah dikenal sebagai sebuah organisasi Islam pembaharuan yang bercorak modern. Corak tersebut tidak terlepas dari landasan teologis yang mendasari arah gerak Muhammadiyah selama ini, yakni teologi Al-Maun. Teologi Al-Maun yang diajarkan KH Ahmad Dahlan berisi tuntutan supaya umat Islam tidak hanya berhenti pada praktik-praktik ritual keagamaan saja dalam menjalankan syariat agama, tetapi juga melakukan berbagai kegiatan amal sosial. Dalam pengamalannya, Muhammadiyah meyakini Alquran dan Sunnah al maqbullahsebagai sumbernya. Tafsir atas Alquran diturunkan pada tataranpraksis, dan diterjemahkan menjadi gerakan nyata.

Sesuai dengan namanya, teologi Al-Maun berakar dari tafsir terhadap intisari Surah Al-Maun. Surah Al-Maun mengajarkan umat Islam untuk selalu berbuat amal sosial. Bahkan, Surah Al- Maun dengan tegas menyebut bahwa mereka yang mengabaikan anak yatim dan menelantarkan masyarakat fakir miskin adalah sebagai pendusta agama.

Selain itu, Surah Al-Maun juga menegaskan bahwa praktik-praktik ritual keagamaan menjadi tidak berarti apabila para pelakunya memilih untuk berdiam diri apabila melihat masalah- masalah yang ada dilingkungan masyarakat.

Teologi Al-Maun kemudian diterjemahkan menjadi pilar-pilar kerja Muhammadiyah. Berdasarkan teologi Al-Ma’un, Muhammadiyah menetapkan tiga pilar kerja, yakni kesehatan, pendidikan, dan pelayanan sosial. Tiga pilar kerja tersebut diklaim merupakan salah satu faktor yang membuat Muhammadiyah masih terus eksis hingga saat ini dengan ribuan sekolah, rumah sakit, dan lembaga pelayanan sosial lainnya.

II. Pembahasan/isi

  1. Makna kata al-Ma’un

Ibnu Abu Najih telah meriwayatkan dari Mujahid, bahwa Ali pernah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan al-ma’un ialah zakat. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh As-Saddi, dari Abu Saleh, dari Ali. Hal yang sama telah diriwayatkan melalui berbagai jalurdari Ibnu Umar. Hal yang sama dikatakan oleh Muhammad ibnul Hanafiah, Sa’id ibnu Jubair, Ikrimah, Mujahid, Ata, Atiyyah Al-Aufi, Az-Zuhri, Al-Hasan, Qatadah, Ad-Dahhak, dan Ibnu Zaid.

Al-Hasan Al-Basri telah mengatakan bahwa jika dia salat pamer dan jika terlewatkan dari salatnya, ia tidak menyesal dan tidak mau memberi zakat hartanya; demikianlah makna yang dimaksud. Menurut riwayat yang lain, ia tidak mau memberi sedekah hartanya. Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa mereka adalah orang-orang munafik; mengingat salat adalah hal yang kelihatan,maka mereka mengerjakannya; sedangkan zakat adalah hal yang tersembunyi, maka mereka tidak menunaikannya.

Al-A’masy dan Syu’bah telah meriwayatkan dari Al-Hakam, dari Yahya ibnul Kharraz, bahwa Abul Abidin pernah bertanya kepada Abdullah ibnu Mas’ud tentang makna al-ma’un, maka ia menjawab bahwa makna yang dimaksud ialah sesuatu yang biasa dipinjam-meminjamkan di antara orang-orang, seperti kapak dan panci.

Al-Mas’udi telah meriwayatkan dari Salamah ibnu Kahil, dari Abul Abidin, bahwa ia pernah bertanya kepada Ibnu Mas’ud tentang makna al-ma’un, maka ia menjawab bahwa makna yang dimaksud ialah sesuatu yang biasa dipinjam-meminjamkan di antara sesama orang, seperti kapak, panci, timba, dan lain sebagainya yang serupa.

2. Tafsir Surat Al-Ma’un1

Surat al-Maun merupakan surat ke 17 yang terdiri atas 7 ayat dan termasuk golongan surat- surat Makkiyah. Surat al-Maun diturunkan sesudah surat al-Taakatsur yakni surat ke16 dan sebelum surat al-Kafirun yakni surat ke 18. Nama al-Maun diambil dari kata al Maun yang terdapat pada akhir ayat. Secara etimologi, al-Maun berarti banyak harta, berguna dan bermanfaat, kebaikan dan ketaatan, dan zakat.

Kata “al-Ma‟un” berdasarkan tafsir klasik dapat dipahami sebagai hal-hal kecil yang diperlukan orang dalam penggunaan sehari-hari, perbuatan kebaikan berupa pemberian bantuan kepada sesama manusia dalam hal-hal kecil. Dalam maknanya yang lebih luas, kata al-Maun berarti “bantuan” atau “pertolongan” dalam setiap,kesulitan.

Surat ini berdasarkan Asbabun Nuzulnya sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu Mudzir berkenaan dengan orang-orang munafik yang memamerkan shalat kepada orang yang beriman. Mereka melakukan shalat dengan riya‟ dan meninggalkan apabila tidak ada yang melihatnya, serta menolak memberikan bantuan kepada orang miskin dan anak yatim.

3. Pokok Penting Dalam Tafsir Surat al-Ma’un

Adapun komponen pokok terpenting yang menjadi inspirasi Pergerakan Muhammadiyah dari Surat al-Maun yaitu:

  1. Perintah berbuat kebaikan kepada sesama manusia. Terutama kepada anak-anak yatim dan fakir miskin yang merupakan kelompok orang-orang yang tertindas (mustadh’afin).
  2. Jangan lupa atau lalai mendirikan shalat.
  3. Jangan riya’ (pamer) dalam beribadah.
  4. Jangan kikir (pelit) untuk beramal dan berbagi dengan sesama.

Keempat hal pokok ini merupakan sifat orang-orang kafir Quraisy dan orang-orang munafik. Dimana mereka cenderung bermegah-megahan dan berfoya-foya dengan harta benda, lupa dengan ibadah karena sibuk mencari harta semata, suka memamerkan kebaikan kepada orang lain atau tidak ikhlas dalam beribadah, dan tidak mau berbagi dengan fakir miskin. Itulah kenapa kaum muslimin diperintahkan menjauhi keempat perbuatan tidak baik tersebut.

Pelanggaran terhadap keempat larangan tersebut disebut sebagai pendusta agama dan menutup hati kita atas kebenaran dan ketundukan semata karena Allah padahal sebelumnya telah menyatakan iman dan berserah diri sepenuhnya kepada Allah.

4. Implementasi Surat Al-Maun Dalam Kehidupan Warga Muhammadiyah

Dalam konteks Muhammadiyah, surat al-Maun memiliki arti yang sangat penting sebab menjadi landasan dasar dan spirit bagi lahirnya gerakan dakwah Muhammadiyah dengan berbagai amal sosialnya berupa rumah sakit, panti asuhan, panti jompo, rumah sakit, lembaga pendidikan dan lainnya.

Teologi al-Ma’un memberikan kesadaran kepada umat Islam, terutama warga Muhammadiyah, bahwa ibadah ritual kepada Allah itu tidak ada artinya bila ternyata kita tidak bisa merefleksikan dalam wujud kesadaran kemanusiaan, seperti menolong fakir-miskin dan anak yatim. Hanya saja, teologi ini tak bisa menghalangi umat Islam dari berasyik-masyuk dalam ibadah ritual. Baru dengan fiqh TBC, seperti larangan untuk menciptakan ritual-ritual baru, maka umat Islam mengalihkan minat ibadah ritualnya ke aksi sosial. Hukum selamatan adalah contoh lain bagaimana fiqh TBC mampu mengubah bantuan sosial karikatif dalam selamatan menuju bantuan yang lebih konkrit kepada orang-orang yang membutuhkan. Pemikiran KH. Ahmad Dahlan tentang Tauhid Al-Ma’un bagi Muhammadiyah ibarat senjata untuk mengabdikan diri kepada bangsa Indonesia.

Karena Tauhid Al-Ma’un merupakan gerakan sosial kemasyarakatan yang berorientasi pada nilai-nilai kemanusiaan. Muhammadiyah berpandangan bahwa gerakan kemanusiaan merupakan kiprah dalam kehidupan bangsa dan negara dan salah satu perwujudan dari misi dan fungsi melaksanakan da’wah amar ma’ruf nahi munkar sebagaimana telah menjadi panggilan sejarahnya sejak zaman pergerakan hingga masa awal dan setelah kemerdekaan Indonesia. Peran dalam kehidupan bangsa dan negara tersebut diwujudkan dalam langkah-langkah strategis dan taktis sesuai kepribadian, keyakinan dan cita-cita hidup, serta khittah perjuangannya sebagai acuan gerakan sebagai wujud komitmen dan tanggungjawab dalam mewujudkan “Baldatun Thoyyibatun Wa Rabbun Ghafur”.

III. KESIMPULAN

Gerakan praksis Al-Ma’un dalam wacana kontemporer terutama yang menyangkut ranah metodologi gerakan, dapat dikaitkan pula dengan “teologi transformatif”, yakni pandangan keagamaan (Islam) yang berbasis pada tauhid dan melakukan praksis pembebasan dan perberdayaan manusia. Muhammadiyah merujuk gerakan transformatif tersebut dengan pandangan Islam yang berkemajuan. Dalam bagian “Pernyataan pikiran Muhammadiyah abad kedua” (2010) dinyatakan bahwa “Secara ideologis Islam yang berkemajuan untuk pencerahan merupakan bentuk transformasi Al-Ma’un untuk menghadirkan dakwah dan tajdid secara actual dalam pergulatan hidup keumatan, kebangsaan dan kemanusiaan secara universal.

Transformasi Islam bercorak kemajuan dan pencerahan itu merupakan wujud dari ikhtiar meneguhkan dan memperluas pandangan keagamaan yang bersumber pada Al-Qur’an dan As- Sunnah dengan mengembangkan ijtihad di tengah tantangan kehidupan modern abad ke-21 yang sangat kompleks”. Dalam pandangan Islam yang bersifat transformative itu ajaran

Islam tidak hanya sekedar mengandung seperangkat ritual ibadah dan “hablun min Allah”(hubungan dengan Allah) semata, tetapi justru peduli dan terlibat dalam memecahkan masalah-masalah konkret yang dihadapi manusia. Inilah “teologi amal” yang bercorak praksis, yang menghadirkan Islam sebagai agama amaliah yang membawa pada pencerahan yaitu membebaskan, memberdayakan,dan memajukan kehidupan khususnya kaum dhu’afa dan mustadl’afin.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *