Apakah Sustainable Eco City jawaban dari tata kota?

Oleh : Pramudya Ananta

Berbagai bencana sebagai akibat kondisi alam maupun perbuatan manusia selalu berkaitan dengan masalah kerusakan lingkungan. Begitu pula berbagai aktifitas pembangunan, penyediaan fasilitas untuk kepentingan pemukiman dan industri seringkali mengabaikan dampak yang timbul terhadap lingkungan sosial dan alam. Bencana kebakaran hutan yang asapnya menutup ruang udara hampir sebagian besar Pulau Sumatera dan Kalimantan, bahkan menyeberang sampai ke negara jiran (Malaysia dan Singapura), diantaranya disebabkan oleh adanya konversi hutan untuk lahan industri.

Begitu pula dengan bencana banjir bandang dan tanah longsor yang melanda berbagai wilayah di seluruh wilayah Indonesia, mulai dari Lokhseumawe –Aceh, Solok –Sumatera Barat, hingga Manokwari, kota di ujung timur Papua , merupakan indikator kerusakan lingkungan dan alam yang merata dan masif terjadi di berbagai wilayah Indonesia.  Banjir dan tanah longsor juga seringkali melanda Semarang, Solo, dan Rembang – kota-kota yang menjadi obyek penelitian ini–. Konversi lahan, eksploitasi ruang dan sumber alam yang semakin meluas, menyebabkan potensi kerawanan bencana alam tanah longsor dan banjir, maupun potensi kebencanaan lainnya, yang kadang tidak bisa diprediksi secara tepat. Bencana kebakaran hutan di musim kemarau, banjir dan tanah longsor pada musim hujan, menjadi kesibukan rutin Pemerintah sepanjang tahun dan musim tanpa ada solusi yang berarti untuk memutus sumber bencana dan mata rantainya.

 Pada sisi lain, rencana, kebijakan, dan regulasi tata ruang, peruntukan lahan yang sudah dipersiapkan tidak dapat berjalan dengan baik. Untuk itu, pemerintah dan seluruh masyarakat perlu mengantisipasi dampak yang mungkin terjadi, melalui perencanaan, manajemen pengelolaan, serta konsep mitigasi risiko bencana yang mungkin timbul secara bersama-sama untuk menghindari risiko kerusakan, kerugian, dan penderitaan bagi masyarakat. Namun beberapa penilitian menyebutkan dengan permaslahan yang terjadi diatas ada beberapa upaya konkrit yaitu membangun tata kota dengan Pembangunan Kawasan Perkotaan Berbasis Sustainable Eco City”. Dengan kata lain ada beberapa factor yang nantinya bisa menjadi tawaran dan jawaban atas permasalahan lingkungan.

Tata Kota dan Konsep Sustainable Eco City

Dalam tata kelola kota, yang dimaksud dengan konsep dasar sustainable eco city adalah kota berwawasan lingkungan. Dengan kata lain, adalah sebuah konsep pembangunan kota yang memadukan 3 (tiga) pilar yaitu ESD (ekologi, ekonomi, dan sosial budaya). Konsep dasar sustainable eco city adalah kota yang dibangun berdasarkan prinsip-prinsip hidup komunitas perkotaan berdasarkan daya dukung lingkungan hidup. Tujuan utama dari banyak kota ekologis dengan konsep dasar sustainable eco city adalah, untuk menghilangkan semua limbah karbon, menghasilkan energi sepenuhnya melalui sumber-sumber terbarukan, dan untuk memelihara lingkungan hidup untuk daya dukung ekosistem kota yang sehat.

Kota ekologis juga memiliki niat mendorong pertumbuhan ekonomi, mengurangi kemiskinan, mengorganisir kota memiliki kepadatan penduduk yang lebih tinggi, dengan prinsip efisiensi ekonomi, sosial, ekonomi lebih tinggi, dan meningkatkan kesehatan. Kota secara ekologis juga dapat diartikan kota yang sehat, artinya ada keseimbangan antara pembangunan dan perkembangan kota dengan kelestarian lingkungan yang berkelanjutan. Secara mendasar, kota juga bisa dipandang fungsinya sebagai suatu ekosistem. Konsep kota ekologis atau kota hijau (green city) memang dapat menjadi solusi yang tepat bagi kota – kota di Indonesia, karena secara potensial dapat mengendalikan sistem ekologi (suhu, erosi, dan banjir), sistem sosial kerukunan warga, tempat tinggal, sekolah, rumah sakit, dsb), serta sistem ekonomi (lapangan pekerjaan) .

Menurut Hadi S. Alikodra –pakar lingkungan hidup dan tata kota–, kota merupakan mikrokosmos permasalahan lingkungan yang terus berkembang seolaholah tanpa batas, mengikuti irama dan dinamika pertumbuhan penduduknya yang terus meningkat. Manusia berinteraksi dengan sistem alam, namun dengan perilakunya yang cenderung destruktif, seringkali justru tidak menjaga, bahkan merusak lingkungan. Di lain pihak, karena keterbatasan daya serap dan daya asimilasi lingkungan, lingkungan hidup perkotaan menjadi semakin rusak dan tercemar (ecological scarcity) akibat berbagai aktifitas manusia. Pembangunan infrastruktur kota di Indonesia yang masih menggunakan paradigma ekspolitasi dengan meningkatkan produksi semata dan masih berorentasi pada kepentingan ekonomi, telah menyebabkan perkembangan ruang kota semakin tidak terkendali. Hal ini menjadi satu faktor pemicu munculnya masalahan lingkungan, baik lingkungan biotik dan abiotik. Apabila pembangunan kota menjadi tidak terkendali, kondisi ini semakin menjadi beban daya dukung lingkungan perkotaan dan memperlebar jurang pemisah antara kota dengan daerah sekitarnya (hinterland).

Kebijakan dan wewenang pemerintah

Pasal 22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup disebutkan bahwa : “Menteri melakukan pengawasan terhadap penanggung usaha dan/ atau kegiata atas ketentuan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dibidang lingkungan hidup”. Rumusan Pasal 22 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup sebagaimana disebutkan di atas, mempunyai pengertian bahwa Undang-Undang memberi wewenang atribus kepada Menteri Lingkungan Hidup untuk melakukan pengawasan, namun secara sektoral (terutama dalam kaitannya dengan perijinan untuk melakukan usaha dan/atau kegiatan, menteri yang berkaitan dengan hal tersebut mempunyai wewenang untuk melakukan pengawasan dan pemberian ijin.

Mengenai pelimpahan wewenang pengawasan kepada Pemerintah Daerah, Pasal 22 ayat (3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup menyatakan sebagai berikut : “Dalam hal wewenang pengawasan diserahkan kepada Pemerintah Daerah, Kepala Daerah menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan” Selanjutnya di dalam bagian Penjelasannya disebutkan : “Dalam rangka pelaksanaan pengelolaan lingkungan hidup, Pemerintah dapat menyerahkan sebagian urusan kepada Pemerintah Daerah menjadi urusan rumah tangganya.” Dengan demikian maka sebenarnya wewenang yang dimiliki oleh Pemerintah kabupaten/kota adalah merupakan penyerahan urusan yang berdasarkan asas desentralisasi

Dalam perencanaan pengembangan kawasan perkotaan dan pemukiman, terdapat beberapa pendekatan yang harus dilakukan oleh pemerintah, yaitu: pendekatan struktur dan non struktur. Pendekatan struktur antara lain mencakup pembangunan prasarana dan sarana penahan gelombang laut, pengolahan air, waduk/bendungan dan sebagainya. Sementara upaya non-struktur mencakup di antaranya penataan ruang melalui pengaturan zonasi pesisir, pengalokasian kegiatan berdasar tingkat risiko bencana, penghutanan pantai dengan bakau, penghutanan kawasan resapan air, serta pembentukan perilaku masyarakat yang ramah lingkungan dan adaptif terhadap perubahan iklim. Persyaratan ini memerlukan perencanaan tata ruang kota yang mengikuti dinamika pertumbuhan penduduk, ekonomi, dan sosial seperti kota-kota yang menjadi sasaran urbanisasi dari penduduk di daerah sekitarnya. Dalam perkembangannya, berdasarkan tipologi perkotaan, setiap kebijakan pembangunan kota dan pengembangan kawasan pemukiman perkotaan akan menghadapi isu, masalah, maupun kebutuhan yang berbeda-beda sesuai spesifikasi keruangannya.

Kesimpulan

Urgensi pembangunan kota dan pengembangan kawasan pemukiman berbasis sustainable eco city berpijak pada pemikiran konsep pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang pertama kali dicetuskan oleh World Commision on Environment and Development (WCED) (Komisi Dunia untuk Lingkungan dan Pembangunan). Di dalam deklarasi tersebut, yang dimaksud dengan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) adalah sebagai suatu pendekatan pembangunan untuk memenuhi kebutuhan generasi masa kini tanpa mengurangi kemampuan generasi masadepan/mendatang untuk memenuhi kebutuhannya sendiri. Dalam sidangnya yang diadakan di Tokyo pada tahun 1987, WECD telah menghasilkan rumusan dan prinsip-prinsip dasar pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) yang dikenal sebagai deklarasi Tokyo.

Ada tiga prinsip utama pembangunan berkelanjutan (sustainable development) yang menjadi instrumen untuk mewujudkan tata kota dan kawasan pemukiman perkotaan yang dapat menjamin kesejahteraan seluruh masyarakat. Prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan secara singkat dapat disebutkan sebagai berikut : pertama, prinsip demokrasi. Prinsip ini menjamin agar pembangunan dilaksanakan sebagai perwujudan kehendak bersama seluruh rakyat demi kepentingan bersama seluruh rakyat. Dalam prinsip demokrasi ini ada beberapa aspek penting yatitu bahwa agenda utama pembangunan adalah agenda rakyat demi kepentingan rakyat, partisipasi masyarakat dalam merumuskan dan mengimplementasikan pembangunan merupakan keharusan moral dan politik, keharusan adanya akses informasi yang jujur dan terbuka tentang agenda pembangunan serta adanya akuntabilitas publik tentang agenda pembangunan, proses perumusan kebijakan dan implementasi pembangunan. Kedua, prinsip keadilan. Prinsip ini pada dasarnya menjamin bahwa semua orang dan kelompok masyarakat memperoleh peluang yang sama untuk ikut dalam proses pembangunan dan kegiatankegiatan produktif, serta ikut dalam menikmati hasil-hasil pembangunan. Ketiga, prinsip keberlanjutan. Prinsip ini mengharuskan pengambil kebijakan publik untuk merancang agenda pembangunan dalam dimensi visioner jangka panjang, untuk melihat dampak pembangunan baik positif maupun negative dalam segala aspeknya, tidak hanya dalam dimensi jangka pendek.

 Pada akhirnya, realisasi kebijakan pembangunan berbasis sutainable eco city hanya mungkin dicapai jika ketiga prinsip dasar ini dioperasionalkan sebagai sebuah politik pembangunan. Sebagai syarat utamanya adalah adanya kehendak yang baik untuk memilih alternaitif pembangunan yang lebih hemat sumber daya dan mampu mensinkronkan aspek konservasi dengan aspek pemanfaatan sumber daya alam secara arif, demi tujuan kesejahteraan masyarakat yang berkelanjutan dan tata kehidupan masa depan yang lebih baik

Sumber

Otto Soemarwoto, 1997, Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan, Gadjahmada University Press, Yogyakarta

Hairi Hady, 2005, Strategi Pembangunan Kota-kota Dalam Mewujudkan Kesatuan Ekonomi Nasional, Prisma No. 1 Tahun 2005

Daud M. Silalahi, Hukum Lingkungan dalam Sistem Penegakan Hukum Lingkungan Indonesia Arief Sidharta, B. (Et.Al), Butir-Butir Gagasan Tetang Penyelenggaraa Hukum dan Pemerintahan Yang Layak, Citra Aditya Bhakti, Bandung 1998, Alumni, Bandung, 1998

Philipus M. Hajon, Penegakan Hukum Administrasi Dalam Pengelolaan Lingkungan Hidup, Makalah Seminar Lingkungan Hidup, FH Uii, Yogyakarta, Tanggal 26 Februari 1998

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *