Perlawanan Warga Winong Terhadap Raksasa PLTU Cilacap

Oleh : Pramudya Ananta
Semua akan berusaha lari dan takut ketika mendengar kata penggusuran. Penggusuran memang menjadi momok sangat menakutkan bagi masyarakat ketika hal ini didasari oleh kepentingan Negara. Sama halnya yang terjadi didesa Winong, Cilacap yang masih berusaha mempertahankan haknya menjaga lingkungan bersih dan hak atas tanah. Karena dengan alasan pembangunan dan kepentingan Negara, mereka bertahun-tahun harus berjuang dalam menjalani hidup ditengah debu yang timbul dari operasinya PLTU dan pembuangan limbah yang berasal dari PLTU tersebut. Sejak PLTU ini pertama kali dimulai tahun 2004 dan secara resmi beroperasi pada 2006, PLTU masuk dan menancapkan kekuasaannya di Winong, banyak sekali perubahan dan dampak negatif yang dialami oleh para warga di Winong, proses ini masih berlangsung hingga detik ini. Karena hadirnya raksasa besar tersebut, mengubah banyak sekali tatanan sosial dan lingkungan yang sangat menyiksa bagi masyarakat winong dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
Pada pemberitaan daerah yang menulis adanya ekspansi yang dilakukan oleh PLN dalam mengembangkan pembangkit listrik. Ekspansi-ekspansi ini sangat membantu jalannya pengoprasian PLN. Ada beberapa kali ekspansi ini dilakukan, yaitu ekspansi I dengan menggunakan teknologi super-critical boiler berbahan bakar batu bara low range yang dilengkapi dengan electristastic precipitat dan flue gas desulpurization, serta didesain agar dapat beroperasi efisien dan ramah lingkungan. Proyek ini dikabarkan menelan investasi US$ 899 juta, dan menyerap tenaga kerja hingga 800 orang saat beroperasi. Angka yang cukup fantastis ketika melakukan ekspansi pertama, tetapi tidak sebanding dengan apa yang diterima oleh warga yang merasakan dampak tersebut. Selanjutnya dilakukanlah ekspansi lagi dengan alasan ingin mempercepat pembangunan. Itulah sebabnya mengapa PLN bergerak sangat cepat, setelah melakukan percepatan PLN juga menambah kapasistas menjadi 1×1.000 MW
Ekspansi PLTU bagi perusahaan bisa jadi merupakan pengembangan bisnis, sedangkan bagi warga sekitar, bisa jadi masalah bakal bertambah. Sumur menjadi tercemar, udara tercemar dan banyak penyakit yang diderita oleh warga Winong, salah satunya penyakit ispa. Bahkan untuk mendapatkan air bersih masyarakat harus membeli di PDAM. Ini membuktikan bahwa Negara tidak hadir untuk menyelesaikan permasalahan rakyat, dan seharusnya ini menjadi fokus dari pemerintah sebab jika sudah terjadi seperti ini artinya Negara sudah lalai kepada masyarakatnya. Padahal terkait mendapatkan udara dan air bersih, hal-hal yang berkaitan itu sudah diatur melalui konsititusi pada pasal 33 ayat 3 yang berbunyi Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun dalam realita dilapanga berkata lain, dan Negara harus bertanggung jawab atas apa yang telah dilakukan kepada warganya.
PERLAWANAN WARGA WINONG
Berbicara sebuah perlawanan kepada Negara, maka ada orang-orang yang menjadi pelopor perlawanan tersebut. Sama halnya yang terjadi pada masyarakat winong dalam upaya melakukan perlawanan, mengutip perkataan Pramoedya Ananta Toer, ada dua kekuatan bagi mayarakat yaitu, organisasi dan boikot. Dari perkataan yang penuh tanya itu mungkin bisa kita tafsirkan kepada setiap bentuk perlawanan massa yang dilakukan oleh warga yang ditindas oleh Negara, maka akan selalu ada kelompok-kelompok yang memplopori terjadinya perlawanan. Begitu juga ketika kita melihat masyarakat Winong, ada kelompok perlawanan yang terus konsisten menyuarakan aspirasinya.
Sedikit melihat sejarah kebelakang perjuangan kelompok-kelompok yang ada di dusun Winong, banyak sekali terjadi perubahan. Pada tahun 2018 ada forum perjuangan masyarakat dusun winong, forum masyarakat winong peduli lingkungan yang disingkat FMWPL. Dalam perjalanan terbentuknya forum ini juga tidak mulus dan tidak serta merta diterima oleh seluruh warga dusun Winong. Penolakan tersebut beradasarkan pengalaman mereka sebelumnya, dimana forum atau perjuangan seperti ini sudah pernah terjadi dengan rnama KAM (komite aksi masyarakat), tetapi perjuangannya dianggap berbeda karena tidak ada efek baik bagi masyarakat lain. Jadi adanya FMWPL ini awalnya tidak dipercayai sepenuhnya oleh warga winong pada umumnya, namun dengan konsisten gerakan FMWPL masih berdiri hingga saat ini dan sudah berjalan 3 tahun. Tiga hal dasar yang menjadi tuntutan FMWPL adalah air, udara dan kebersihan. Tiga pokok ini yang selalu menjadi pembahasan fokus dari FMWPL.
Sementara itu, Anggota forum terdiri dari 12 orang tersebar di 4 RW dusun winong. Awal berdirinya, forum ini mencoba menemukan beberapa kontak dari KAM untuk meminta bantuan tapi hasilnya nihil. Berdirinya forum ini pun juga belum memiliki daya tarik yang kuat untuk masyarakat winong, meskipun sudah beberapa tuntutan yang diperjuangkan untuk winong berhasil. Misalnya pada tahun 2017, ketika forum telah mendesak PLTU untuk menyediakan sumber air warga melalui pengadaan 15 toren dan disebar ke semua dusun. Meskipun kenyataannya, dalam tujuh minggu awal bulan Maret hingga april air yang tersedia berasal dari PDAM, selepas itu toren-toren tersebut mulai terisi dengan air laut yang melaui proses penyaringan. Hal ini juga menjadi alasan bagi warga dengan memandang bahwa kontribusi Forum belum benar-benar signifikan, disamping itu kecurigaan masyarakat bahwa Forum juga belum tentu bersih dan bisa saja mendapatkan uang dari hasil perjuangan melawan PLTU atas nama mereka. Kemudian begitu saja menggunakannya tanpa keterlibatan masyarakat secara utuh, hal-hal seperti inilah yang dianggap sangat berbahaya.
Rentetan tuntutan Forum bisa dilacak pada tahun 2016 ketika limbah PLTU telah mencemari sungai dan laut warga, masalah aspon yang merusak lingkungan dan udara yang mereka hirup sehari-hari, serta juga beberapa warga yang telah didiagnosa mengidap penyakit Infeksi Saluran Pernapasan Akut (ISPA).
Begitu juga menurut cerita yang berhasil dikumpulkan, tiang pancang milik oleh PLTU yang mempunyai kedalaman sekitar 25 meter telah menyerap air dan mengakibatkan sumur warga mengering apalagi jika terjadi musim kemarau, hal ini terjadi karena sumur masyarakat yang digunakan rata-rata hanya memiliki kedalaman sekitar 15 meter. Setelah itu, sumber air warga yang digunakan sebagian terasa asin, sebagian lagi terasa pahit dan tidak layak untuk dikonsumsi. Untuk itu menuntut untuk mengadakan PDAM bagi forum adalah alasan tepat untuk bisa dimiliki oleh warga.
Selain itu, meskipun harus bertahan dalam tuntutan, masyarakat juga terjebak dalam dilema apakah akan pindah atau memilih untuk tetap bertahan di Winong. Ada beberapa kondisi yang membuat masyarakat kenapa bersikap seperti ini. Pertama, disebabkan karena beberapa warga yang memihak ke PLTU justru memberikan pilihan kepada warga bahwa hidup di Winong memang bukan pilihan yang baik sekarang, sudah semakin susah. Selanjutnya untuk apa memilih bertahan di winong dengan kondisi yang parah dengan kekurangan sumber air bersih layak konsumsi, lingkungan yang tidak bersih dan memiliki udara yang berpolusi, berdebu dan juga terserang penyakit infeksi saluran pernapasan. Selain itu, memilih angkat kaki dari winong juga belum tentu menjadi solusi yang baik. Perpindahan selalu menciptakan mental yang berbeda ketika harus beradaptasi. Berikutnya, dengan pindah bukan berarti memudahkan dapat memperoleh akses pekerjaan, sementara di Winong pekerjaan menambang pasir adalah mata pencaharian utama dan tidak bisa dilepaskan. Mau tidak mau, sumber penghasilan masyarakat winong hampir semuanya adalah penambang. Untuk itu, keluar dari winong akan menjadi tanda tanya akan kerja apa mereka ?
Mereka yang keluar dari winong sebagian besar hanya dapat menjual tanah tersisa yang mereka punya, berupa tanah dengan bangunan rumah dan pekarangan. Tidak lebih, meskipun ada yang memiliki tanah dan sawah diluar winong, itupun tidak seberapa, ini menjadi satu masalahnya.
GERAKAN PEREMPUAN
Dalam gerakan yang dilakukan oleh masyarakat winong, ada perempuan-perempuan yang selalu membantu gerakan masyarakat, hal ini harus sangat diapresiasi karena mengingat adanya gerakan perempuan berarti tekanan politik menjadi sangat kuat. Perempuan-perempuan ini selalu menjadi ujung tombak dalam perjuangan dan konsisten dalam melakukan perlawanan menuntut adanya ganti rugi yang dilakukan oleh PLTU dalam pengoprasiannya. Dalam melakukan aksi massa, masyarakat winong yang diinisiasi oleh forum masyarakat winong peduli lingkungan tersebut bergerak ke beberapa titik. Namun disetiap melakukan aksi massa tersebut, ada beberapa yang harus diapresiasi yaitu banyaknya peran ibu-ibu atau perempuan dalam melakukan aksi massa. Dengan kata lain, kesadaran dalam melawan sudah masuk sampai titik dimana perempuan ikut andil ketika melakukan perlawanan.
Banyak yang bisa kita lihat dalam gerakan yang dilakukan oleh para perempuan, atau bisa kita ambil salah satu perempuan yang tetap konsisten dalam melakukan perjuangan-perjuangan perempuan yaitu bu Sadinem. Beliau menjadi perempuan satu-satunya di FMWPL, yang selalu berjuang digaris depan pada perlawanan perjuangan masyarakat. Dengan adanya sosok bu Sadinem ini adalah contoh bagi perempuan yang ada di Winong, bagaimana kekuatan dari gerakan perempuan juga mempunyai peran penting disetiap gerakan masyarakat.
Perjuangan pada perempuan yang ada di Winong juga didasari oleh keresahan ibu-ibu yang sulit dalam mendapatkan pekerjaan, air bersih dan udara bersih. Anak-anak yang seharusnya bermain dan belajar, juga harus menanggung dampak penyakit ispa lantaran terkena debu batu bara yang dihasilkan oleh PLTU. Kenyataan itu juga menjadi salah satu alasan kenapa adanya gelombang-gelombang perlawanan dari perempuan, yang dimana hal itu menjadi amunisi kekuatan dalam melakukan perlawanan. Hal ini bisa dilihat dalam forum masyarakat winong peduli lingkungan yang diinisiasi oleh ibu Sadinem dan yang lain, mencoba memakai pendekatan-pendakatan dari PKK sampai kegiatan-kegiatan ibu-ibu.
Pada akhirnya upaya dari FMWPL dalam mengorganisir ibu-ibu terkait kekuatan gerakan perempuan cukup masif. Ini juga harus menjadi fokus bagaimana dalam suatu perlawanan memang dibutuhkan peran perempuan dalam setiap agenda-agenda perlawanan. Melihat gerakan perempuan yang ada di Winong, menjadi satu semangat dalam melawan dan merefleksi bagaimana kita mengubah cara pandang terhadap perempuan yang dianggap tidak bisa dalam melakukan hal-hal perlawanan seperti ini, dan selalu megklasterkan peran perempuan hanya bisa melakukan perannya dalam hal-hal domistik. Namun masyarakat Winong membuktikan, bahwa gerakan perempuan juga bisa mengeluarkan aspirasi, memobilisasi dan juga menjadi salah satu gerakan dalam melakukan tekanan politik.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *