Menelaah Konflik Rembang dengan Dasar UUD 1945 Pasal 28

Ingatkah kawan-kawan dengan konflik agraria di Rembang? Pasti kawan-kawan masih ingat dengan kasus ini, karena memang kasus ini masih sangat hangat khususnya bagi para aktivis pembela petani. Kasus di Rembang terjadi antara petani Rembang dan PT. Semen Indonesia, dimana para petani menolak penambangan karst dan pembangunan pabrik semen PT. Semen Indonesia.
Dalam penolakan tersebut Konsorsium Pembaharuan Agraria (KPA) bahkan terlibat dengan mengancam tindak kekerasan yang dilakukan terhadap para petani Rembang yang menolak penambangan karst dan pembangunan pabrik PT. Semen Indonesia di Rembang.
Kasus tersebut apabila kita telaah dengan dasar hukum tertinggi yaitu UUD 1945, maka hal tersebut termasuk bentuk pelanggaran Hak Asasi Manusia yang tercantum pada 28 A UUD 1945, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” Bahwa di sini sikap petani yang melawan pembangunan pabrik semen karena petani berjuang membela haknya dan bahkan mempertahankan lahannya yang sebagaimana mereka gunakan untuk memenuhi kehidupan sehari-hari. Tak mudah untuk menerima ganti uang atas lahan petani Rembang, karena petani Rembang sadar akan pentingnya lahan sehingga bukan sekedar uang yang dapat didapat yang langsung habis begitu saja. melainkan lahan tersebut adalah harta yang harus melekat bahkan untuk anak cucunya nanti.
KPA dalam hal ini juga bertindak atas dasar hukum pada Pasal 28 E ayat (3), “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Sesuai dengan aturan tersebut maka petani yang memiliki good willing terhadap penolakan penambangan karst dan pendirian pabrik PT. Semen Indonesia dapat dikatakan berpartisipasif melakukan pengawasan kepada pemerintah (social control).
Namun tak hanya kekerasan yang didapatkan para petani Rembang, rasa sakit dan keprihatinan juga dirasakan para petani dan warga Indonesia lain. Rasa sakit dan keprihatinan mereka semakin bertambah, ketika ternyata pada gugatan yang dilayangkan dari kaum petani untuk PT Semen Indonesia dimenangkan oleh pihak tergugat (PT Semen Yogyakarta dan Gubernur Jawa Tengah) yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara di Semarang.
Ketetapan hakim ini dinilai tidak obyektif terhadap beberapa pihak terutama para aktivis pembela petani. Hakim memiliki aturan dalam Undang-Undang Kekuasaan kehakiman yang diatur pada UU No.48 tahun 2009 sebagaimana dicantumkan pada pasal 2 ayat (1) bahwa Peradilan dilakukan “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa” maka dengan itu harus dihormati.
Apabila kaum petani belum merasakan keadilan maka dapat ajukan banding dengan harapan mendapatkan perlindungan dan kepastian hukum yang adil sesuai pada Pasal 28 D, “Setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

Fitri Lestari

Mahasiswa Hukum Universitas Muhammadiyah Yogyakarta dan Aktivis Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah

    https://www.facebook.com/fifie.keishach

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *