Penulis: Bani Ikhsan
Dewasa ini, jumlah pengguna media sosial di Tanah Air menunjukkan angka yang begitu
impresif. Tujuan penggunaannya pun beraneka macam. Beberapa individu menggunakan
media sosial untuk bergabung dalam gerakan sosial, mengorganisasi kelompok dan
komunitas, atau sekadar sarana aktualisasi diri.
Menurut laporan Hootsuite (We Are Social) tmenunjukkan dominasi kalangan muda (usia 25-
34 tahun) dalam penggunaan media sosial di Indonesia. Disebutkan pula, rata-rata orang
Indonesia menghabiskan waktu 194 menit (3 jam 14 menit) sehari untuk mengakses media
sosial. Perkembangan penggunaan media sosial tersebut berbanding terbalik dengan
keberadaan media konvensional yang kini mulai diabaikan. Berdasarkan data
GlobalWebIndex, jumlah penonton televisi, pendengar radio, pembaca koran dan majalah
mengalami kemerosotan yang signifikan. Salah satu faktor yang menyebabkan meningkatnya
peminat media sosial dikarenakan kecepatannya dalam mendapatkan feed back dari khalayak.
Dibandingkan media konvensional, akses media sosial juga sangat mudah (dan murah),
bersifat real time dan dua-arah, serta dapat dilakukan di mana saja dan kapan saja.
Pertumbuhan media sosial tersebut pula tidak saja berpengaruh terhadap pola penyampaian
pesan, tetapi juga mempengaruhi perilaku khalayak. Secara gradual, realitas ini mewarnai
perubahan struktural dan dinamika budaya masyarakat.
Ketika internet dan media sosial hadir sebagai medium baru, ia datang tidak hanya membawa
konten. Layanan media sosial yang dengan mudah diakses melalui layar smartphone, pada
gilirannya akan mewarnai perilaku khalayak. Termasuk dunia politik dalam partai yang kini
mulai bergejolak dalam rangka pemilihan umum yang semakin dekat.
Media, secara umum, memiliki peranan dalam setiap tahapan perpolitikan di Indonesia. Bila
bertolak pada era 90- an Radio memiliki peran yang sangat penting dalam perebutkan
kemerdekaan Indonesia, dimana presiden Soekarno menggunakannya untuk melakukan
konsolidasi politik. Semangat nasionalisme yang disuarakan melalui stasiun radio memiliki
peran penting dalam meningkatkan semangat kebangsaan melawan penjajah. Radio juga
memiliki peran dalam mendukung konsolidasi politik yang mendukung lahirnya orde baru di
pertengan tahun 1960.
Media elektronik kemudian di politisisasi, dengan kontrol dan regulasi yang kuat dari
pemerintahan Soeharto. Sampai pada awal abad ke 20 ketika internet mulai berkembang dan
kemudian memiliki impact di dalam kesadaran sosial dan berpolitik di masyarakat. Namun,
walaupun Indonesia memiliki regulasi yang mengatur media massa, pemerintah masih belum
dapat mengontrol dan meregulasi Internet di awal awal kemunculannya.
Sebelum era reformasi, era orde baru telah mendukung perkembangan teknologi dengan
menyusun birokrasi yang mengatur penggunaan teknologi. Sebenarnya bukan masalah konten
dari diskusi publik yang menjadi fokus, namun bagaimana setiap orang dapat
mengekspresikan apapun tanpa adanya kekhawatiran melawan hukum. Perkembangan dari
kebebasan media di kancah politik mengarah kepada hal yang positif karena dapat
mengakomodasi kegiatan berkumpul dan berpendapat untuk komunitas, dan juga elit politik
dan pemerintah.
Media sosial juga memiliki peran yang berbeda dalam konteks pemilihan umum pada tahun
2014 di Indonesia, dan munculnya polarisasi setelah pemilihan presiden di tahun 2014. Dua
kandidat presiden yang kala itu bertarung di pemilihan presiden Indonesia pada tahun 2014,
kembali bertarung di pemilihan presiden pada tahun 2019, dimana pengaruh polarisasi
menjadi semakin kuat. Identitas politik juga diperkuat oleh media sosial, sama halnya ketika
internet memperkuat identitas politik didalam pergerakan politik di tahun 1998.
Sistem pemilihan yang hanya mempertemukan dua kandidat atau dua partai meningkatkan
level ambiguitas dan menciptakan situasi yang komplek terutama bagi masyarakat yang
belum memiliki pilihan politik. Hal tersebut terjadi pada pemilihan presiden tahun 2014 di
Indonesia dan juga pemilihan presiden tahun 2016 di Amerika Serikat.
Dengan munculnya kaum milenial yang dinamis dan dengan merubah persepsi politik mereka
dengan cepat dibandingkan dengan kelompok generasi sebelumnya, membuat polarisasi
posisi yang diambil oleh para kandidat menghasilkan ambiguitas yang terus meningkat.
Namun, terdapat beberapa celah terkait dengan keterbatasan akses internet, dimana diantara
kelompok yang memiliki akses dan yang tidak, yang kemudian memunculkan urgensi
perlunya melihat kembali perbedaan level literasi digital yang ada di masyarakat. Media
sosial juga dapat tak luput dari menciptakan perpecahan karena terdapat perbedaan yang
signifikan di antara komunitas online dengan identitas politik mereka.
Billahi Fii Sabilillhaq Fastabiqul Khoirot