Bayang-Bayang Fasisme dalam RKUHP: Demokrasi di Antara Ilusi dan Kamp Konsentrasi

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang disahkan pada 6 Desember 2022 merupakan gambaran konkret wajah dari ketidakjelasan hukum yang berjalan dalam sistem demokrasi di Indonesia. Pasalnya, kehadiran peraturan yang mengatur tentang penghinaan pemerintah sama sekali tidak memiliki rujukan, landasan, serta urgensi yang jelas dalam sistem demokrasi di Indonesia. RKUHP hanya menjadi wajah gelap yang banal melekat pada citra pemerintah rezim presiden Jokowi.

Tak hanya penghinaan pemerintah, dalam RKUHP juga turut menggandeng peraturan tentang pelarangan ideologi kiri dan pemberangusan ideologi-ideologi atau paham yang bertentangan dengan pancasila. Selain itu, masih banyak lagi pasal yang mengatur kehidupan private masyarakat yang dinilai oleh beberapa pakar sebagai upaya negara mengurusi kehidupan masyarakat dengan berlebihan.

Kehadiran pasal-pasal kontroversial tersebut menghantarkan kita kembali pada makna dasar dari sistem yang berjalan di Indonesia, yaitu demokrasi. Tentu, demokrasi yang dipahami di Indonesia sebagai sistem modern tidak menghendaki adanya sistem kedaulatan yang mendekati makna fasis. Apalagi menciderai makna dari demokrasi secara fundamental.

Akan tetapi, dalam penerapan dan berjalannya sistem tersebut membangun proyeksi tersendiri akan keterbatasan hidup masyarakat dan kekejaman sistem yang fasis dengan wajah baru, dictator yang lebih halus, dan seakan-akan demokratis. Agamben juga mengemukakan bahwa demokrasi sebagai anak kandung dari suatu keadaan darurat atau state of exception, pada akhirnya juga tetap membutuhkan kedaruratan itu sendiri untuk kedaulatan dirinya, dan pendisiplinan masyarakat (Agamben, 1998).

Tulisan ini, akan dihabiskan dengan membahas lebih dalam secara historis, dan kontradiksi di balik sistem demokrasi yang berjalan hampir di seluruh bagian dunia ini. Melalui pemikiran Giorgio Agamben dalam pemikirannya tentang state of exception dan juga kerangka teoritis dari Michael Foucault dalam biopolitik akan membantu pemahaman tentang paradoksal demokrasi terutama dalam RKUHP dan muatan pasal konstroversial yang disahkan oleh pemerintah.

Pendisiplinan dan Penyeragaman

Biopolitik (2008) dalam karya Michael Foucault, melihat gaya politik Barat modern sebagai politik yang mencoba mendisiplinkan manusia sebagai entitas hidup yang seragam. Sampai sini politik bisa diartikan sebagai satu sistem yang tidak hanya terbatas pada persoalan administrasi. Lebih dari itu, politik merupakan persoalan untuk mendisiplinkan manusia dengan segala hal yang bisa diatur.

Jika berangkat dari Foucault, indikasi sementara dalam Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang memuat beberapa pasal kontroversial. Secara tidak langsung menyodorkan persoalan tentang bagaimana pemerintah hendak membawa masyarakat masuk dalam satu keadaan yang menjadi bentuk ujung dari proses pendisiplinan yang diinginkan.

Namun sebelum itu, Foucault (1975) terlebih dahulu membedakan antara zoe dan bios. Menurutnya, zoe merupakan tanda kehidupan umum yang bersifat nature (hewan dan manusia), sedangkan bios merupakan ke-khasan individu atau kelompok tertentu dalam menjalani hidup. Perkembangan ini melahirkan disiplin ilmu yang dinamakan sebagai zoologi dan biologi.

Berangkat dari terminologi zoe dalam biopolitik kemudian disingkirkan, sebab animalitas tidak dianggap ‘khas’. Dalam biopolitik adanya ke-khasan inilah yang menjadi suatu hal yang diperjuangkan dalam sistem biopolitik. Maka ke-khasan hidup diatur sedemikiran rupa bentuknya melalui peraturan-peraturan, penegak hukum, dan sistem yang sedang berjalan.

Mekanisme pendisiplinan yang diadopsi di Indonesia hampir sama dengan kebanyakan negara di dunia, dengan mengaktifkan logika-logika konsekuensional. Pendisiplinan hanya bisa dilakukan dengan memberi peraturan dan hukuman. Dalam beberapa hal, Foulcaultdian (Sudibyo, 2019) menilai penerapan hal yang semacam ini hanya sebagai mesin disipliner represif atau mesin kekerasan untuk suatu tujuan pendisiplinan, manusia yang tidak disiplin mesti diganjari hukuman, meskipun sebenarnya dalam beberapa aspek kehidupan secara umum sudah terbatasi.

Dalam RKUHP, wajah pemerintah sengaja dikonstruk sebagai boomerang bagi siapapun yang hendak mengkritisi pemerintah. Kerapuhan pasal tersebut juga bisa dilihat dengan sederhana melalui tolak ukur pelabelan penghinaan pemerintah yang keropos, hal ini berimbas serius pada masyarakat, terutama aktivis yang selalu berada pada garda terdepan menjaga api demokrasi dengan kritik.

Selain itu, melihat pasal kontroversial dalam RKUHP di sisi lain sebagai proses pancasilaisasi yang cenderung dipaksakan dan di sisi lainnya pula sebagai penyeragaman serta pengarusutamaan wacana pancasila melalui pelarangan penyebaran ideologi kiri marxisme/komunisme/leninisme ataupun paham yang bertentangan dengan pancasila. Meskipun pelarangan tersebut di Indonesia sudah menjadi warisan sejarah yang akrab di masyarakat dari masa pemerintahan presiden Soeharto melalui TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966.

Dalam biopolitik, kejadian seperti ini menjadi proyek strategis dalam politik . Biopolitik mengupayakan penyeragaman wacana dalam konstelasi masyarakat, penyeragaman ini paling utama dilakukan oleh institutsi-institusi. Pada konteks ini, muatan dalam RKUHP bekerja menjalankan penyeragaman wacana tersebut. Manusia-manusia diibaratkan telanjang, yang hanya sebatas tubuh dan seenggok daging yang dihiasi berbagai wacana. Wacana tersebutlah yang menjadi hiasan yang dipegang oleh pemerintah yang berdaulat memiliki kuasa untuk menjadi penghias yang ingin dilekatkan pada tiap tubuh masyarakat, bisa berupa budaya, norma, identitas, politik dan lain sebagainya. Sampai sini, pengibaratan demokrasi sebagai kamp konsentrasi bagi Agamben menjadi tepat, dikarenakan setiap manusia merupakan hanya sebuah proyek strategi politik yang sedang berjalan.

Ada Fasisme Di Balik Kedaulatan

Pada Rancangan Kitan Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) sebetulnya sangat berpotensi menjadi gejala fasis dari wajah pemerintah, seperti yang diuraikan di atas tentang pasal kontroversial yang dimuat di dalamnya, melalui pembatasan, dan penangguhan hak politik dalam beberapa aspek.

Sehubung dengan hal tersebut Agamben melihat kondisi semacam itu sebagai State of Exception, yang mana dalam kondisi tersebut mampu memberi celah pada kemungkinan terbukanya fasisme dari bentuk kedaulatan atau kuasa yang dibuat oleh pemerintah. Sedangkan bagi Carl Schmitt (2006) dalam konsep negara kedaulatan merupakan satu-satunya keniscayaan yang bagi pemerintah mampu menyaingi Tuhan. Schmitt juga mengatakan bahwa Tuhan dan kekuasaan itu identik, maka kedaulatan (kekuasaan) bisa saja memasukkan orang dalam inklusi (surga) atau ekslusi (neraka) dengan sekehendaknya. 

Dalam sistem politik modern, sebenarnya telah disusupi bentuk semacam teologi yang bersentral pada kedaulatan. Dulunya, bentuk teologi hadir dalam sistem politik teokrasi, namun sekarang bentuk teologi bermutasi menjadi kedaulatan (tendensi absolutisme). Maka sangat tidak mengeherankan jika pemerintah sering kali berjubah layaknya Tuhan, memutuskan apa saja dalam menjalankan kekuasaaannya. Sebab yang diilhami adalah kedaulatan dan kedaulatan merupakan keniscayaan dalam sistem politik yang berjalan. Pada titik ini, fasisme selalu ada dan juga niscaya dalam setiap penyelenggara sistem demokrasi pada kekuasaaan negara yang berdaulat.

Agamben (1998) dalam pemikirannya tentang state of exception memiliki dasar pemikiran pada iustitium yang berarti keadaan darurat. Pada awalnya iustitium diartikan sebagai hari libur pengadilan pada institusi hukum Romawi yang diartikan sebagai “suspension of the law” atau penangguhan hukum. Biasanya penangguhan semacam ini direalisasikan oleh senates consulltuum ultimum (dekrit final senat) ketika Romawi berada dalam kondisi tumultus atau perang (Sudibyo, 2019). Ia melihat persoalan semacam ini adalah upaya negara dalam membentuk kedaulatan dalam menjalankan sistem politik. Akan tetapi, yang menjadi fokus utama bukan berada pada institusi pengadilan secara khusus, melainkan berada pada bagaimana setiap negara kerap kali membangun suatu keadaan darurat untuk menggapai kembali kedaulatan atas untuk kuasa dirinya sendiri.

Sebelum itu, Agamben menyodorkan bentuk logika yang dipengaruhi oleh pemikiran Hegel sebagai hal yang mendasari kekerasan, baik secara fisik maupun non-fisik yang dilakukan oleh kekuasaan bisa berjalan ialah dengan negativitas internal. Agamben menyebutnya sebagai relation of exception (relasi pengecualian), yang di dalamnya ada inklusi dan ekslusi. Inklusi merupakan negara, sedangkan ekslusi adalah kekerasan, keduanya membutuhkan hubungan yang jelas dalam berjalannya negara. Menurut Agamben, mekanisme semacam ini menjadi paradigma dari operasi negara modern. Dalam artian, bahwa dalam berjalannya kekuasaaan, negara tidak bisa lepas dari kekerasan, mereka selalu mengekslusi yang lain untuk meraih sesuatu yang lain.

Sebagai contoh, dalam RKUHP banyak mengatur tentang wacana yang dilegalkan dan illegal, selain itu juga, pasal penghinaan pemerintah hingga pada persoalan kehidupan masyarakat dalam ranah private. Sampai pada keadaan tersebut bisa diartikan bahwa pemerintah hendak untuk melakukan penyeragaman sebagai proses inklusi. Sebagai syarat, pemerintah perlu mengekslusi ke-khasan dari masyarakat dan ragam hal yang bertolak belakang dengan penyeragaman yang diinginkan.

Paling ekstrim, ketika pemerintah mengekslusi dengan mencabut hak politik masyarakat, masyarakat kemudian termarginalisasi dan jatuh pada apa yang disebut oleh Agamben sebagai homo sacer. Bagi Agamben, homo sacer merupakan manusia terkutuk dalam hukum Romawi, ia boleh dibunuh tanpa pembunuh, ia boleh dihukum dan tak boleh membela dirinya.

Catatan Penutup

Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) merupakan bentuk dari manifstasi  paradoks demokrasi, melalui Agamben dan Foucault kita perlu lebih memahami kontradiksi yang terjadi dalam sistem demokrasi modern. Dalam state of exception memperlihatkan bagaimana kekerasan dilakukan pemerintah memiliki ambisi dalam kuasa dan kedaulatan sebagai embrio awal dari bentuk fasisme berwajah baru.

Paradoksal dalam demokrasi perlu diakui tetap memiliki kebolongan, meskipun untuk sementara waktu sebagai satu sistem yang unggul. Akan tetapi rentan untuk menempatkan manusia atau masyarakat ibarat ada dalam kamp konsentrasi, yang bebas dipreteli sedemikian rupa. Konsekuensi kontradiksi menjadi hal yang harus diterima di dalamnya, misalnya kelahiran ‘A’ bukan lahir karena dirinya sendiri, melainkan karena ada kontradiksi dengan ‘A’ yang melahirkan ‘A’. Singkatnya, logika ini memiliki konsekuensi dalam demokrasi, jika demokrasi hendak di adakan kerap kali sistem ini dijalankan dengan hal-hal yang bertolak belakang dengan dirinya. Di situlah fasisme dimungkinkan dan melihat betapa paradoksnya demokrasi yang di jalankan.

Sebagai catatan akhir, pengesahan RKUHP harus se-segera mungkin direvisi dan ditolak oleh masyarakat. Tentu, kita mengharapkan hidup yang demokratis, ia bukan hanya ada dalam dan berhenti pada ilusi, setidaknya diantara kita tidak ada yang menghendaki untuk hidup dalam sistem kehidupan yang berwajah fasis, pemenggal kebebasan.

Penulis : Reza Fauzi Nur Taufiq (Kabid RPK PC IMM AR. Fakhruddin Kota Yogyakarta)



Referensi

Agamben, G. (1998). Homo Sacer: Sovereign Power and Bare Life. Stanford: Stanford University Press.

Foucault, M. (1975). Discipline and Punish. Pantheon Books.

Foucault, M. (2008). The Birth of Biopolitics: Lecturers at the College de france. Palgrave Macmillan.

Schmitt, C. (2006). Political Theology: Four Chapter on the Concept of Sovereignty. Chicago: Chicago University Press.

Sudibyo, A. (2019). Demokrasi dan Kedaruratan: Memahami Filsafat Politik Giogio Agamben. Tangerang: Marjin Kiri.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *