SEPTEMBER HITAM: BULAN NESTAPA DAN MENDERITA

Bulan September adalah bulan yang penuh duka, dengan berbagai tragedi pelanggaran hak asasi manusia yang belum tuntas hingga saat ini. Bulan September juga dinamakan dengan nama “September hitam”, bulan yang penuh dengan kesedihan, kegelapan, dan kepahitan. Pembunuhan munir, pembantaian tanjung priuk, Tragedi Semanggi II, pembantaian 65, dan yang terbaru kasus reformasi dikorupsi terjadi pada bulan ini.

Kasus-kasus pelanggaran hak asasi manusia berat ini masih menunggu jalan penyelesaian yang sampai saat ini masi belum menemui titik terang. Lamanya proses penyelesaian kasus-kasus tersebut memberikan tanda bahwa negara tidak mempunyai political will untuk menyelesakan kasus pelanggran ham berat yang terjadi. Padahal, negara merupakan pemegang kewajiban dalam permasalahan hak asasi manusia.

Masalah ini bukanlah satu-satunya yang terjadi, terbaru presiden jokowi dalam pidato kenegaraan nya menjelaskan tentang penandatanganan kepres penyelesaian kasus pelanggaran ham melalui mekanisme non-yuridis. Kepres ini diklaim merupakan komitmen negara dalam menyelesaikan kasus pelangagran ham, khususnya pelanggaran ham berat masa lalu. Hal ini jelas merupakan hal yang keliru, sebab penyelesaian kasus pelanggaran ham berat tidak boleh dan tidak bisa hanya melalui mekanisme non yuridis, sehingga akhirnya akan berakibat pada nihilnya tanggung jawab pelaku dan menempatkan korban dan keluarga korban pada kondisi yang tidak adil.

Hukum ham internasional mengatur bahwa hak untuk hidup, hak kesamaan dalam hukum merupakan kategori non derogable rights yang artinya hak tersebut tidak  bisa dikurangi dalam kondisi apapun. Maka dari itu, penyelesaiaan kasus pelanggaran ham berat melalui mekanisme non yuridis merupakan bentuk kekeliruan yang sangat nyata. Akhirnya, negara lalai dalam menjaga hak individu masyarakat dan tidak menjadikan korban sebagai subjek yang harus dilindungi. Dalam hal ini, sebenarnya negara mempunyai pilihan untuk menggunakan mekanisme keadilan transisi (transitional justice) untuk menyelesaikan kasus pelangagran ham, tapi kembali lagi, negara memilih untuk melindungi pelaku.

Perilaku negara yang memilih melindungi pelaku pelanggaran ham berat, bukan merupakan hal baru. Dibeberapa sektor publik yang lain, sikap ini dapat terlihat dengan sangat jelas. Lahirnya undang-undang cipta kerja yang mempermudah masuknya investasi dengan menutup mata terhadap masalah buruh dan lingkungan adalah contoh bagaimana rezim memilih untuk merapat terhadap oligarki dibandingkan memihak kepada rakyat. Tidak cukup sampai disana, hadirnya RKUHP dengan tetap memasukan pasal-pasal  bermasalah yang merampas kebebasan sipil semakin memberikan gambaran bahwa negara ingin menundukan rakyat dalam kesewenang-wenangan.

Keadilan dan kebebasan seakan menjadi mimpi disiang bolong. Sebuah nestapa yang akhirnya mengarahkan kita kedalam jurang bernama kegelapan yang dipenuhi dengan ketakutan. Penindasan, ketidakadilan dan kesewenang-wenangan berada disegala sektor kehidupan bernegara. Kita dihantui ketakutan yang begitu besar, bahkan kita diarahkan pada narasi bahwa semua hal yang terjadi ini merupakan hal yang biasa dan normal melalui proses penciptaan kebudayaan yang terstruktur bahkan melalui sistem pendidikan. Saat ini, kita sedang diciptakan untuk, kritik adalah tabu, melawan adalah dosa, dan berjuang adalah penghianatan, kita diarahkan untuk hanya menjadi budak, diarahkan untuk diam, diarahkan untuk mengkuti arus yang dibuat oleh kekuasaa.

Ha-hal tersebut merupakan proyek yang tidak boleh dibiarkan terjadi, penyadaran terhadap masyarakat sipil adalah keharusan guna membangkitkan kesadaran dan menumbuhkan api perlawanan. Bangkit dan melawanlah kaum miskin kota, bersatu padulan para petani didesa, bergeraklah mahasiswa. Berkumpul, bersatu, melawan!!!

Penulis : Yamanan ( Ketua Umum PC IMM AR Fakhruddin Kota Yogyakarta 2021/2022 )

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *