Harapan Untuk Kemerdekaan Perempuan

Oleh: Melati Maharani (SEKBID IMMAWATI PC IMM AR FAKHRUDDIN KOTA YOGYAKARTA 2020-2021

Di beberapa kesempatan diskusi seputar gender, saya temukan beberapa pandangan seperti, “kenapa sih perempuan harus menyuarakan kesetaraan gender, ini kan udah bukan jaman penjajahan seperti dulu, perempuan udah bisa sekolah kok (katanya), mau jadi apa aja juga boleh (katanya lagi), semuanya udah di samakan kok antara laki-laki dan perempuan (lagi-lagi katanya).”Padahal kenyataan yang saya temui tidak semudah itu. Mungkin saya termasuk orang yang beruntung ketika saya bisa menikmati akses pendidikan, dan tidak dibatasi untuk melakukan banyak hal hanya karena saya seorang perempuan. seperti berorganisasi,atau seorang perempuan yang bisa bersuara di ranah publik.

Kemudian saya mendengar adanya stereotype bahwa perempuan itu harus kalem, dia harus manut-manut saja, dan dalam masyarakat saya temui bahwa perempuan itu hanya sebatas perkara domestik saja, perempuan itu fitrahnya hanya sebagai seorang istri dan ibu, sehingga mereka belum bisa menjadi perempuan seutuhnya jika tidak menjalani dua peran tersebut.Apalagi jika ditambah sebagai seorang perempuan muslim, kita akan memiliki tantangan yang lebih rumit lagi dan akan membuat kita seakan terhimpit diantara dua narasi ekstrem. (1) Narasi muslim kaku, yang menganggap bahwa perempuan itu adalah parameter moral, dan (2) Narasi Barat yang menganggap bahwa perempuan muslim itu tertekan dan terisolasi.Setelah saya mewawancarai beberapa teman yang berasal dari beberapa daerah yang kebetulan kuliah di kampus yang sama dengan saya, mereka menceritakan bahwa anak perempuan atau siswa perempuan di daerah mereka banyak yang putus sekolah, alasannya karena orang tuanya merasa bahwa menyekolahkan anak perempuan bukanlah suatu prioritas, dan menganggap bahwa lebih baik anak perempuan itu dinikahkan saja setelah menstruasi.

Sesuai dengan data yang disampaikan oleh Komnas Perempuan. Menurut laporan Komnas Perempuan, sepanjang tahun  2020, terjadi 299.911 kasus kekerasan terhadap perempuan di seluruh Indonesia. Kekerasan di ranah rumah tangga/relasi(KDRT) menempati urutan atas yakni 6.480 kasus. Bentuk kekerasan  di ranah rumah tangga  itu semisal kekerasan terhadap istri yang menempati peringkat pertama3.221 kasus,disusul kekerasan dalam pacaran  1.309 kasus,kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus . Sedangkan untuk kekerasan di ranah pribadi kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik 2.025 kasus, disusul kekerasan seksual 1.983 kasus, psikis 1.792 kasus,dan ekonomi 680 kasus.Realitas ini menunjukan bahwa perempuan masih belum merdeka terhadap dirinya, ia menjadi pelampiasan kemarahan fisik maupun biologis. Kedewasaan dalam menghormati martabat perempuan dan mengindahkannya, menjadi persoalan sosial yang harus segera diselesaikan.Kekerasan fisik maupun seksual terhadap perempuan, menunjukan masih adanya budaya patriakal dalam masyarakat. Budaya ini mengganggap bahwa perempuan tak lebih sebagai alat pemuas supperioritas laki-laki.

Perempuan dalam konteks ini harus mengambil langkah solutif sebagai upaya menjaga dan melindungi harkat dan martabatnya. Perempuan juga harus mengambil peran srategis dalam kehidupan sosial, politik,  dan pekerjaan. Sebagai upaya aktualisasi diri,  dan memberikan sumbangsi atas nama warga negara, yang peduli akan kepentingan dirinya dan lingkungannya.Perempuan juga harus mengambil peran penting di wilayah politik, karena wilayah ini merupakan sumber lahirnya kebijakan. Jumlah perempuan Indonesia di parlemen sebanyak 120 orang atau 20,8 persen dari 30 persen kuota yang tersedia,  total anggota DPR RI  berjumlah 575 orang.  Selisi ini menunjukan bahwa keterwakilan perempuan dalam pemilu, dan kepengurusan partai tidak begitu efektif. Penyebabnya, sistem politik Indonesia memang masih sangat patriarkal. Kehadiran perempuan di ruang publik mewakili suara kaumnya yang terpinggirkan. Menyampaikan aspirasi perempuan yang termarjinalkan. Sebab hanya perempuan yang bisa memahami persoalan perempuan. Maka dari itu dengan hadirnya perempuan diharapkan mampu mendorong kebijakan publik yang berpihak pada kepentingan perempuan. Inilah pekerjaan rumah kita bersama untuk mewujudkan sistem sosial yang mengapresiasi kerja-kerja siapapun secara nyata, lelaki maupun perempuan di ranah domestik dan publik.

Tembok kekerasan, eksploitasi dan penghisapan terhadap perempuan yang menghalangi langkahnya, harus dimusnakan di bumi Indonesia. Perjuangan melawan penindasan terhadap perempuan harus senantiasa ditegakkan. Bahkan pesan kitab suci, kita harus memuliakan perempuan.Pembebasan terhadap hak-hak perempuan merupakan tugas kebangsaan. Bung Karno pernah berkata, “proklamasi kemerdekaan Indonesia bukan hanya untuk mempunyai negara belaka, melainkan sebagai pijakan perjuangan sosial untuk menyelenggarakan sebuah pergaulan hidup yang di dalamnya tidak ada lagi kekerasan dan penindasan, termaksud tidak ada lagi penindasan terhadap kaum perempuan”.Pemerintah dalam konteks ini harus selalu mengupayakan pencegahan serta penanganan terhadap korban kekerasan terhadap perempuan. Proses rehabilitas terhadap trauma sosial akibat kekerasan, perlu dilakukan secara mendasar dan menyeluruh, sebagai upaya memanusiakan perempuan.

Maka di hari Kemerdekaan Indonesia yang ke 76 ini, saatnya kita memerdekaan perempuan, salah satunya dengan menjadikan mereka berdaya dengan memberikan hak-hak kepada mereka sebagai manusia seutuhnya. Dirgahayu Republik Indonesia ke-76. Semoga semakin berpihak pada perempuan, kelompok marginal dan kelompok minoritas di Indonesia. Semakin menghargai dan menghormati keberagamannya, karena Indonesia merdeka di atas segala perbedaan dan keberagamannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *