Refleksi Maulid Nabi Muhammad SAW: Perbaikan untuk Negara

Oleh: Muhammad Zulfikar Yusuf
Setiap tahun pada tanggal 12 Rabi’ul Awal umat Islam di seluruh dunia memperingati hari kelahiran Nabi Muhammad SAW. Terlepas dari perbedaan pendapat di kalangan umat Islam, baik itu merayakan atau tidak, perayaan Maulid Nabi Saw merupakan perkara ijtihadiyah, yang tidak ada kewajiban dan tidak ada larangan dalam melaksanakannya. Selama didalamnya tidak terdapat unsur TBC (tahayul, bid’ah, churafat) dan mendatangkan maslahat, maka Islam memberikan kelonggaran. Karena itu, hendaknya kita saling bertoleransi dalam masalah yang masih diperselisihkan.
Namun, maulid Nabi bukan hanya persoalan perayaan. Lebih dari itu, kelahiran Nabi Muhammad adalah gambaran dari kebangkitan dunia gelap gulita menuju peradaban maju yang terang berisikan cahaya. Disaat kondisi politik, ekonomi, sosial, dan agama baik di Barat maupun Timur dipenuhi oleh tatanan yang kacau, Persia dengan khurafatnya dan Romawi dengan semangat kolonialisme, Muhammad Saw lahir sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Rasulullah Saw tidak hanya sukses mengangkat martabat manusia dari jurang jahiliah, namun membebaskan manusia dari segala perangai penindasan dan hukum rimba. Yang demikian adalah perwujudan perlawanan terhadap berbagai macam kezhaliman yang dibangun melalui agenda profetik dalam laku Muhammad Saw.
Agenda profetik ini yang kemudian dipopulerkan oleh Prof. Kuntowijoyo melalui paradigma berpikir konsep Ilmu Sosial Profetik. Beliau menafsirkan bahwa Ali Imran ayat 10 adalah representasi dari karakteristik Islam yang luas dan komprehensif dengan menjaga harmonisasi antara Allah, manusia, dan alam dengan pilar utamanya humanisasi, liberasi dan transendensi.
Ta’muruuna bil ma’ruuf dimaknai sebagai upaya humanisasi, memanusiakan manusia. Tanhauna ‘anil munkar didefinisikan sebagai upaya liberasi, membebaskan manusia dari ketertindasan dan dominasi struktural melalui hegemoni kesadaran palsu. Puncaknya adalah Tu’minuuna billah sebagai bagian dari transendensi, bahwa hidup harus terarah dan memiliki tujuan yang merupakan bagian penting dari proses membangun peradaban.
Bertolak belakang dari agenda profetik tersebut, aktualisasi dan implementasi terhadap nilai-nilai prophet yang diwariskan oleh Muhammad Saw melalui uswah hasanah, nyatanya kalah dan tergerus oleh arus peradaban. Kehidupan modern dan situasi kontemporer yang seharusnya menjunjung tinggi prinsip keadilan, justru jauh dan bersebrangan, dengan itu pula memperlihatkan kepada kita bahwa terdapat pola hidup yang di design secara massif melalui persengkongkolan penguasa dan pengusaha, terlebih, Negara berperan didalamnya.
Orientasi profit yang dijalankan oleh Negara dan dimanfaatkan oleh segelintir oknum, eksploitasi terhadap sumber alam dan manusia, privatisasi ekonomi yang menentang pasal 33 UUD 1945, political buying melalui black campaign adalah bukti bahwa Negara ikut andil dalam melanggengkan oligarki ekonomi dan politik.
Kacamata masyarakat melihat bahwa urusan Negara yang seharusnya menerapkan asas Trias Politica agar terciptanya Check and Balances tidak lagi dilaksanakan secara adil dan transparan. Walaupun kemudian sebagian pihak mengklaim bahwa konsep tersebut sudah tidak lagi relevan karena permasalahan yang semakin kompleks dan Lembaga Negara akan saling terkait, nyatanya mekanisme Check and Balances disalahgunakan oleh sebagian oknum penguasa. Proses yang seharusnya bertujuan untuk saling mengontrol dan mengawasi, dikhiati menjadi ladang persengkongkolan kepentingan.
Negara yang seharusnya paling berperan dalam menjalankan amanat konstitusi dengan melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa, tetapi diselewengkan tujuannya demi kepentingan individu dan kelompoknya. Eksekutif bersamaan dengan wakil rakyat juga diwarnai oleh oligarki yang sarat akan kepentingan pelanggengan kekuasaan.
Ombudsman mencatat, dalam kurun waktu 2016-2019, ada 397 komisaris yang terindikasi rangkap jabatan di BUMN dan 167 komisaris di anak perusahaan BUMN. Selain pemborosan kas Negara, rangkap jabatan juga sarat akan konflik kepentingan melalui kontrol terhadap segala macam kebijakan. Selain itu, Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM, Busyro Muqoddas mengatakan bahwa, pemerintahan era Jokowi menuju otoritarianisme gaya baru. Hal ini dibuktikan dengan praktik yang dilakukan oleh pemerintah melalui multifungsi Polri, selain pendekatan represif dalam menangani persoalan demokrasi.
Selain itu, dari berbagai target ekonomi yang dicanangkan oleh Pemerintah melalui RPJMN (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional), gagal tercapai. Target petumbuhan ekonomi adalah contoh yang paling konkret. Dalam 5 tahun kepemimpinannya, Jokowi tidak pernah mencapai target petumbuhan ekonomi. Dari target 7%, prestasi terbaik yang bisa diraih hanya 5.07% pada tahun 2017. Termasuk target penurunan angka kemiskinan, Rasio Gini, Indeks Pembangunan Manusia, defisit neraca perdagangan, dan utang yang membludak. (Sumber: BPS)
Kegagalan berbagai macam target yang telah dicanangkan adalah hasil dari kesalahan dalam mengelola Negara. Politik destruktif yang dibangun oleh para elit berakibat pada buruknya pengelolaan badan publik. Kegagalan ini melahirkan krisis multidimensional. Melebarnya kesenjangan ekonomi, suburnya oligarki, dan matinya demokrasi adalah buah dari hilangnya integritas.
Karena itu, memasuki abad modern yang dipenuhi dengan kemajuan peradaban, Negara seharusnya hadir dalam memberikan perlindungan bagi setiap anak bangsa dengan prinsip keadilan dan kebajikan. Negara harus membuktikan bahwa rakyat, kaum marginal, rentan, dan mustadh ‘afin adalah prioritas utama.
Maulid Nabi adalah refleksi bagi kita semua dan khususnya Negara bahwa risalah yang dibawa Rasulullah adalah counter terhadap segala macam kezhaliman. Maka, agenda profetik harus selalu hadir dalam lini kehidupan, mengaktualisasikan nilai-nilai prophet, dengan mendatangkan manfaat dan kemaslahatan bagi ummat dan bangsa. Allahumma Sholli ‘alaa Muhammad.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *