
Oleh : Pramudya Ananta
(Ketua Bidang Sosial Pemberdayaan Masyarakat PC IMM AR Fakhruddin Kota Yogyakarta)
Permasalahan agraria akhir-akhir ini semakin meningkat dalam skala nasional. Sepanjang perjalanannya, banyak media-media yang kemudian menjelasakan permasalahan agraria yang terjadi di Indonesia. Menurut data dari komnas HAM, setidaknya ada lima konflik besar agraria yang terjadi di Indonesia, pertama sengketa lahan Taman Nasional Baluran, Situbondo, Jawa Timur. Ada sekitar 500 keluarga dan 1.450 jiwa mendiami 363 hektar lahan sebagai petani, peternak sapi, pekebun dan nelayan. Mereka korban penetapan lokasi jadi Suaka Margasatwa Baluran pada 1937. Pada 1975, terbit izin PT Gunung Gumitir dalam kawasn Taman Nasional.
Kedua, sengketa lahan di lahan hak guna usaha PT Wira Karya Sakti, Batanghari, Jambi, ada 61 warga tersangka dari petani dan Suku Anak Dalam Jambi (versi Polda Jambi) atau 119 orang versi Pemerintah Kabupaten Batanghari. Ketiga, kasus kematian 35 orang di lubang bekas tambang di Kalimantan Timur. Keempat, penolakan izin konsesi hutan tanaman industri di Siberut, Kepulauan Mentawai. Kelima, sengketa lahan Urut Sewu, Kebumen, Jawa tengah, yang memicu konflik berkepanjangan antara petani dan TNI AD. Berdasarkan data Komnas HAM dalam lima tahun terakhir, pengaduan masyarakat kepada komisi ini menunjukkan konflik agraria jadi masalah mendasar dan perlu penyelesaian mendesak. Luasan konflik mencapai 2.713.369 hektar dan tersebar di 33 provinsi di berbagai sektor. Tercatat, 42,3% atau 48,8 juta jiwa desa berada dalam kawasan hutan.
Dalam kehidupan dan perkembangan manusia, tanah mempunyai peran yang sangat penting bagi manusia karena mempunyai beberapa fungsi seperti social asset dan capital asset. Sebagai social asset, tanah di kalangan masyarakat Indonesia merupakan sarana pengikut kesatuan sosial untuk hidup dan berkehidupan, sedang sebagai capital asset tanah merupakan faktor modal dalam pembangunan. Oleh karenanya, tanah juga mempunyai kedudukan yang strategis bagi kehidupan ekonomi.
Dengan kata lain memanfaatkan tanah sebagai penghidupan ekonomi juga sangat efektif bagi masyarakat, namun di sisi lain ketika pengeksploitasian tanah yang terlalu massif dilakukan, kerusakan dan beberapa dampak lain pasti akan terjadi. Seperti yang di jelaskan (Latief, 1996; Nasoetion dan Winoto, 1996; Suhendar, 1994; Sumaryanto et al., 1996) ada beberapa faktor yang mendorong terjadinya dampak-dampak tersebut, pertama adalah Konfigurasi daratan dan ketimpangan persebaran penduduk, yang kedua Pola investasi dan pengembangan wilayah, yang ketiga rata-rata luas penguasaan tanah petani sangat kecil dan semakin mengecil dengan struktur yang timpang, dan yang terakhir konversi lahan pertanian produktif kurang terkendali.
Dari semua faktor yang ada di atas, ada beberapa hal dimana negara harus masuk melalui sebuah kebijakan yang mendisiplankan dalam mengatur penguasaan tanah, supaya hal-hal yang dapat mengganggung keseimbangan alam tidak terjadi, seperti eksploitasi dalam skala besar. Sepanjang perjalanan republik ini berdiri, upaya negara dalam menjaga kesimbangan alam pernah tercermin dalam undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (UUPA) (LNRI Tahun 1960 No. 104 – TLNRI No. 2043) pada tanggal 24 September 1960.
UUPA merupakan pelaksanaan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, hal ini juga ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) UUPA, yang menetapkan bahwa Negara sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat pada tingkatan tertinggi menguasai atas bumi, air, ruang angkasa, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Hak menguasai dari negara ini ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti terwujud kebahagiaan dan kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dalam perkembangannya setelah hampir 45 tahun berlaku, ada pemikiran UUPA perlu pembaruan. Pembaruan UUPA ini dilatar belakangi oleh pengelolaan sumber daya agraria yang berlangsung selama ini di nilai telah menimbulkan penurunan kualitas lingkungan, ketimpangan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatannya serta menimbulkan berbagai konflik. Kedua, peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya agraria saling tumpang-tindih dan bertentangan.
Seiring berjalannya waktu dan bergantinya rezim, haluan politik agraria bergeser sesuai kepentingan penguasa, pemgusaha dan para oligarki. Jalan terang dalam menjembatani persoalan agraria di Indonesia adalah menjalankan reforma agraria yang asli, sesuai dengan semangat yang terkandung dalam UUPA 1960.
Setidaknya dalam melihat segala bentuk konflik dan permasalahan agraria, terdapat tiga mazhab yang dapat di jadikan sebagai landasan teoritis, dimana tiga mazhab ini juga senada dengan apa yang di cita-ctiakan dalam UUPA 1960. Pertama, konservasionistik, yang mendudukkan sumber agraria dan alam semata untuk pelestarian. Kedua, developmentalistik, yang memandang sumber agraria dan alam sebagai aset pembangunan. Ketiga, eko-populistik, yakni cara pandang holistik bahwa manusia, flora-fauna, dan lingkungannya adalah satu kesatuan ekosistem. Jika satu dari tiga mazhab tersebut hilang atau tidak terpenuhi, maka persoalan-persoalan agraria akan terus terjadi, Hilangnya satu unsur akan mengguncang sendi unsur lainnya (Witter and Bitmer, 2005).