Duka September ; Munir dan Lonceng Kematian HAM di Indonesia

Oleh : Muh. Taufiq Firdaus
(Ketua Umum PC IMM AR FAKHRUDDIN Kota Yogyakarta)
Cak Munir begitulah sapaan akrab dari sosok Aktivis HAM yang getol menyuarakan kasus pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara. Pria keturunan dari arab ini lahir di Malang, tepat tanggal 08 Desember 1965. Kecintaan munir dengan dunia hukum sudah terlihat sejak munir mengambil studi hukum di Universitas Brawijaya, selain itu juga aktif berorganisasi di dalam kampus maupun di luar kampus, salah satunya menjadi Ketua Komisariat Hukum HMI Brawijaya. Setelah menempuh studi hukum, pergolakan dengan dunia hukumnya semakin terlihat dengan ikut bergabung dengan Lembaga Bantuan Hukum baik di Malang, Surabaya, Jakarta hingga akhrinya mendirikan suatu lembaga bernama KONTRAS (Komisi Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan) sebagai lembaga pegaduan buat masyarakat yang menjadi korban kekerasan dan penghilang paksa oleh negara. Dalam perjalanannya mengadvokasi kasus kasus HAM memang tidak jarang Cak munir berhasil membuat telinga penguasaa saat itu geram, dengan diseretnya nama-nama pelaku atau aktor tindak kekerasan dan penghilangan paksa yang dilakukan oleh negara. Beberapa kasus pelanggaran HAM yang pernah ditangani Munir diantaranya kasus hilangnya 24 aktivis dan mahasiswa di Jakarta (1997-1998) yang menyeret nama Prabowo Subianto Menteri Pertahanan saat ini, sebagai salah satu pelaku kejahatan HAM masa lalu, namun hingga kini mantan Panglima Kostrad itu masih aman dan tenang di menara gading kekuasaan Jokowi di periode keduanya.
Sosok yang begitu keras dan tegas tersemat dalam karakter Munir dalam mengungkap pelanggaran- pelanggaran HAM. Maka tak heran munir mempunyai banyak musuh dalam aktivitasnya membongkar pelaku-pelaku kejahatan HAM. Hingga akhrinya munir meninggalkan kita semua dalam perjalanannya menuju belanda. Tepat pada 7 September 2004, Munir beranjak ke Belanda untuk melanjtukan studi hukumnya. Alih-alih ia tiba di belanda justru munir mati terbunuh diatas ketinggian 40.000 kaki diatas tanah Rumania. Pesawat garuda yang ditumpanginya justru membawa munir ke tempat peristirahatan terakhir. Pada tanggal 12 November 2004, Setelah melakukan otopsi atas jasad Munir, kepolisan belanda merilis hasil kajian dengan ditemukannya senyawa arsenik, yang merupakan salah satu jenis racun berbahaya pada tubuh munir, yang diduga diberikan pada jus jeruk yang diminumnya tepat sebelum berangkat. Meskipun pelaku yang memberikan racun di minuman munir telah tertangkap, namun publik belum puas karena dalang dibalik pembunuhan munir masih berkeliaran bebas. Bahkan lebih mirisnya, kasus munir sudah diberhentikan sejak pemerintahan SBY, hingga ke pemerintahan Jokowi tidak menunjukkan kemajuan atas kasus tersebut. Meskipun TPF Munir sudah merekomendasikan untuk melanjutkan proses hingga tuntas sampai membongkar hingga dalang pembunuhan Munir.
Sejak Munir meninggalkan kita, setiap tanggal 7 September masyarakat dari berbagai kalangan selalu memperingati kematian aktivis HAM tersebut, namun lebih dari itu sebenarnya yang diperingati adalah kematiaan HAM di Indonesia. Sebagai negara yang mendaulat asas dan prinsip demokrasi, justru negara ini kadang-kadang muncul sebagai negara otoritarian yang menghilangkan dan membunuh warganya karena kritikan dan perbedaan pendapat. Sebenarnya bukan cuman kasus munir yang menjadi lonceng kematian HAM di Indonesia, ada Pembantaian 30 S PKI ; Tragedi Tanjung Priok ; Tragedi Semanggi 1 dan 2; Kerusuhan 1998, Wiji Thukul; Marsinah dan masih banyak lagi tragedi-tragedi yang menjadikan seorang istri menjadi janda, seorang suami menjadi duda, atau seorang anak menjadi yatim piatu karena pelanggaran HAM yang dilakukan oleh negara. Bahkan sepanjang tahun 2020, serangkain konflik warga dengan negara selalu diselesaikan dengan tindak kekerasan, aparat militer yang sejatinya mengayomi dan melindungi justru datang dengan kokang senjatanya menembaki hingga memukul masyarkat sebut saja petani Urut Sewu di Kebumen, Masyarakat adat di Kinipan, dan Nelayan yang dikiriminalisasi karena menolak pertambangan di Laut Makassar.
Bahkan melihat Pemerintahan Jokowi di periode keduanya, pemerintahannya sangat dekat dengan Aparat militer dengan ditunjuknya beberapa TNI/POLRI sebagai menteri atau jabatan strategis di lingkaran kekuasaan. Maka tak heran apabila isu menguatnya TNI/POLRI mengalir deras di periode pemerintahan Jokowi yang kedua ini. Terlebih lagi kasus-kasus pengekangan kebebasan akademik, perbedaan pendapat, dan kriminalisasi aktivis karena kritikan di pemerintahan Jokowi ini semakin kuat, sehingga indeks demokrasi Indonesia terus menurun sejak 2015 (hasil penelitian the economist intelligence unit dimuat di tempo, 2020). Sebagai Presiden dengan latar belakang sipil, jutru kebijakan yang dikeluarkan presiden Jokowi terkesan lebih militer dibanding presiden yang mempunyai latar belakang militer. Kasus Munir mungkin tidak akan diselesaikan karena tidak ada political will pemerintah yang berpihak kepada korban, tetapi justru kasus munir akan selalu menjadi api perlawanan buat masyarakat agar terus melawan penguasa yang zalim, justru jalan aktivis memang kadang-kadang beresiko, tetapi perjuangan memang tidak ada yang mudah untuk dijalani seperti Munir. Namun mati 1 tumbuh 1000, kedepannya akan semakin banyak aktivis-aktivis HAM yang muncul untuk menyuarakan ketidakadilan, akan banyak teriakan lantang karena kezaliman, karena semangat munir adalah semangat perlawanan, dan semangat perlawanan akan terus tumbuh.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *