MEMBACA ARAH PENDIDIKAN INDONESIA

Seperti yang kita ketahui, akhir-akhir ini masyarakat dunia sedang dirundung nestapa, tak terkecuali Indonesia. Wabah covid-19 tidak hanya menyasar sektor kesehatan, tetapi ia juga melumpuhkan sektor-sektor lainnya seperti ekonomi, pariwisata, sosial, budaya, dan juga pendidikan. Persoalan yang kerap kali terjadi pada sektor pendidikan seperti tawuran antar pelajar, kurikulum yang bergonta ganti, hingga susahnya akses pendidikan terhadap masyarakat kelas bawah seolah menjadi momok makanan yang setiap hari kita lihat. Singkatnya, pendidikan Indonesia sedang berada dalam kondisi yang sakit.
MENGULAS MAKNA PENDIDIKAN
Tak dapat dipungkiri, bahwa pendidikan merupakan aspek vital dalam laju pengembangan kemajuan sebuah bangsa, sebab ia bersinggungan langsung dengan kehidupan manusia. Senada dengan itu, John Dewey seorang filsuf asal Amerika Serikat mengatakan bahwa pendidikan adalah kehidupan itu sendiri, melalui pendidikanlah seharusnya manusia memperoleh ilmu, mampu membedakan mana yang benar dan mana yang salah, serta menjadikannya sebagai manusia yang berkualitas.
Jauh dari pada itu, para pendiri bangsa ini sedari awal kemerdekannya menyadari betul tentang makna pentingnya pendidikan dalam sebuah negara, hal itu terlihat dengan meletakkan kalimat “mencerdaskan kehidupan bangsa” menjadi salah satu pilar penting dalam amanat konstitusi kita. Secara filosofis, kalimat itu dapat dimaknai dengan harapan mencerdasakan kehidupan bangsa mampu membawa Indonesia dalam kondisi sejajar atau diatas negara-negara maju di dunia. Maka secara normatif pihak yang paling bertanggung jawab dalam pemenuhan hak atas pendidikan adalah negara, serta sudah seharusnya setiap warga negara mendapatkan jaminan dalam memperoleh pendidikan dan hal itu tertuang dalam amanat UUD 1945.
Selain itu, pemaknaan terhadap pendidikan tidak dapat dipersempit hanya dengan peningkatan kapasitas ketrampilan serta kepintaran seorang manusia. Ia harus diletakkan secara benar dengan melihat manusia sebagai subyek yang memiliki jiwa hidup, bukan melihat manusia sebagai obyek yang dapat di eksploitasi layaknya robot. Artinya, pendidikan merupakan suatu jalan menuju pembebasan, jalan membentuk manusia-manusia merdeka bukan jalan membentuk manusia menjadi sesuatu yang mati layaknya robot.
PERSOALAN DALAM DUNIA PENDIDIKAN
Kekerasan dalam dunia pendidikan kita seperti kasus pemerkosaan, pencabulan, pembunuhan, penganiyaan, tawuran antar pelajar tentu menjadi catatan hitam dalam lembaran sejarah pendidikan Indoneisa. Dari beberapa kasus tersebut, seringkali kita temui hal itu dilakukan oleh oknum guru kepada siswanya, sebagai contoh adalah kasus yang dilakukan oleh oknum guru di kota Serang beberapa tahun lalu.
Fenomena lainnya yang tak kalah memilukan adalah, tradisi coret-coret baju di saat merayakan kelulusan. Tentu saja hal ini bukan merupakan suatu gejala yang baik dalam dunia pendidikan kita, alih-alih merayakan kebahagian, tetapi perayaan ini juga ditunggai aksi-aksi konvoi yang justru meresahkan masyarakat sekitar.
Belum lagi fenomena-fenomena tawuran antar pelajar yang kerap terjadi di kota-kota besar di Indonesia, seperti jakarta, bandung, jogja dan daerah-daerah lainnya. Ironisnya tak jarang tawuran tersebut berujung pada jatuhnya korban, mulai dari yang luka ringan, luka berat, cacat seumur hidup bahkan juga korban yang meninggal dunia. Hingga hari ini, korban-korban yang berjatuhan akibat tawuran antar pelajar tersebut jumlahnya terus bertambah, dan yang lebih memilukan lagi di tengah pandemi seperti ini tawuran antar pelajar tetap saja terjadi. Padahal jika ditelusuri lebih jauh, motif dari tawuran tersbut terkadang tidak terlalu jelas.
Fenomena diatas seolah menggambarkan bahwa realitas pendidikan kita hari ini tengah berada dalam kondisi cacat moral. Penghormatan terhadap harkat dan martabat seseorang, serta penanaman nilai-nilai kemanusiaan dalam dunia pendidikan mengalami degradasi yang sangat serius.
Cacat moral dunia pendidikan kita juga dicerminkan dengan tingginya angka korupsi dalam tubuh pemerintahan, di sisi lain angka ketimpangan sosial, kemiskinan, perusakan alam demi sektor pembangunan juga tidak kalah tingginya dengan angka korupsi, dan hal ini jelas mengisyaratkan bahwa pendidikan indonesia gagal membentuk manusia-manusia yang beradab, bermoral, serta menjunjung tinggi nilai keseimbangan terhadap alam.
Selain cacat moral, pendidikan kita juga mengalami disorientasi nilai. Instansi-instansi pendidikan mulai dari tingkat SMA/SMK hingga universitas lebih condong mengarah kepada kebutuhan pasar, maka secara sadar atau tidak sadar instansi pendidikan tersebut telah menyulap dirinya layaknya pabrik makanan siap saji.
Lulusan-luusan SMK dan universitas di arahkan kepada kebutuhan tenaga kerja pasar, sebut saja MEA. Wacana yang terus digencarkan dalam MEA adalah, persaingan merebutkan posisi untuk dapat mendominasi, akhirnya secara latah pendidikan kita diarahkan untuk dapat mendominisai pasar tersebut, kemudian menempatkan peserta didik layaknya robot yang di setting sedemikian rupa dengan menjejalkan materi-materi yang justru memberatkan anak dalam proses belajar mengajar. Dengan sistem seperti ini, para pemangku kebijakan mengharapakan lulusan-lulusan tersebut menjadi produk yang siap pakai.
Masalah lain dalam sektor pendidikan kita adalah, kapitalisasi pendidikan itu sendiri. Dosa besar instansi pendidikan ialah, dengan arogansi mereka mengkalim bahwa dirinya lah yang paling berhak memberikan pendidikan yang layak. Hal itu di buktikan dengan propaganda-propaganda yang beredar melalui televisi, surat kabar, iklan-iklan dengan iming-iming lulusan-lulusan mereka yang siap bekerja, dan ini justru memperjelas peroslan pendidikan di atas bahwa instansi pendidikan telah menyulap diri menjadi pabrik makanan siap saji.
Pendidikan yang bermutu tinggi selalu di identikkan dengan banyaknya gedung sekolah, fasilitas yang memadai. Secara normatif memang itulah faktor-faktor pendukung atau penunjang mutu pendidikan di Indonesia, tetapi sekali lagi permasalahannya adalah terletak pada ketimpangan askes pendidikan itu sendiri.
Pendidikan dengan mutu tinggi, fasilitas memadai selalu dipatok dengan harga yang sangat fantastis, akhirnya persoalan ini merambah pada sektor ekonomi masyarakat. Mereka yang berada pada kluster menengah kebawah tentu sangat susah mendapatkan akses pendidikan dengan mutu tersebut, tetapi tidak demikian dengan kluster menengah keatas.
Hingga hari ini, keterbatasan akses pendidikan bagi kluster menengah kebawah masih menjadi persoalan yang begitu rumit. Melirik data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik dan juga Data kementrian Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 2015, menyebutkan setidaknya sekitar 4,9 juta anak-anak yang tidak terakomodasi kebutuhannya akan pendidikan, persoalan adalah sama seperti di atas, angka 4,9 tersebut berasal dari keluarga kluster menengah kebawah.
Ketika komersialisasi pendidikan ini terus dilakukan dengan prisnisip siapa yang mampu membayar dia akan memperoleh pendidikan, maka dapat dibayangngkan suatu saat akan timbul pola pemikiran yang hanya berorientasi pada materialistik, memikirkan bagaimana caranya supaya balik modal. Sementara hal itu terjadi, pendidikan akan mempertegas posisinya sebagai bisnis orang-orang kaya, dan justru pendidikan pula yang memperjelas adanya jurang ketimpangan yang ada di Indonesia.
Kemudian yang tak kalah polemiknya adalah, tradisi pendidikan Indonesia dengan selalu bergonta ganti kurikulum seiring bergantinya menteri pendidikan, hal ini bukan malah membawa perubahan ke arah yang lebih baik, tetapi membawa pendidikan sesuai apa yang di inginkan oleh siapa yang berkuasa saat itu. Akhirnya lagi-lagi pendidikan menjadi ladang bisnis para penguasa.
PERBAIKAN PENDIDIKAN INDONESIA
Dalam melihat gelombang kemajuan zaman, pendidikan sebagai instrumen penting di tubuh masyarakat sudah saatnya di dudukkan kembali sebagaimana mestinya. Pendidikan harus dipandang sebagai jalan menuju pembebasan yang di ikuti dengan perbaikan mutu pendidikan yang dapat mendorong kreativitas anak sesuai dengan bidangnya. Tidak lagi melihat manusia sebagai obyek yang dapat di eksploitasi sesuai kebutuhan pasar.
Sistem belajar mengajar di ruangan, tidak boleh lagi berjalan sentralistik dengan menempatkan guru atau dosen sebagai otoritas kebenaran. Dialektika ilmu pengetahuan perlu dibangun sejak pendidikan tingkat dasar, supaya pembentukan nalar kritis pada anak didik terbangun sejak usia dini. Sehingga dengan begitu, ilmu akan dilihat sebagai sesuatu yang belum selesai, belum final dan harus dipertanyakan keabsahannya.
Penanaman nilai-nilai kemanusiaan dalam tubuh pendidikan, perlu menggunakan metode yang tidak monoton. Moral harus dibentuk tidak sebatas dengan apa yang disebut keteladanan, tetapi juga harus di tunjukkan tentang realitas sebenanrnya yang tengah terjadi di masyarakat, maka pendidikan tidak boleh putus dengan persoalan-persoalan kerakyatan, tidak boleh tersekat dengan ruangan-ruangan.
Lalu yang terakhir adalah pemerataan akses pendidikan hingga pada tataran akar rumput, persamaan asesbilitas, keadilan, serta kesempatan harus menjadi sesuatu yang wajib di dapat oleh seluruh anak Indoneisa. Tidak bisa lagi ia terbatas untuk orang-orang kluster menengah keatas, tidak bisa lagi terbatas oleh wilayah-wilayah yang mudah terjangkau. Tetapi kesamaan ini harus di dapat seluruh anak tanpa memandang itu semua. Hal itulah yang diamanatkan oleh UUD 1945.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *