COVID-19 dan Merawat Bumi

Oleh : Faiz Al Ghiffary (Tuanmuda)

Dua bulan lebih dunia tengah di hadapkan dengan persoalan yang begitu rumit, sejak WHO mengumumkan Covid-19 sebagai pandemik global, ramai ramai warga dunia menyatakan perlawanan terhadap virus mematikan tersebut. Melansir data dari peta Coronavirus COVID-19 Global Cases by Johns Hopkins CSSE, per 26 Maret 2020 tercacat 471.407 kasus dari seluruh dunia, 114.051 diantaranya telah dinyatakan sembuh, sedangkan melansir data dari gisanddata.maps.arcgis.com jumlah kematian di seluruh dunia tembus pada angka 21.287 jiwa.

Sampai pada detik ini, tercatat sudah ratusan negara yang terdampak virus corona tak terkecuali Indonesia. Berdasarkan data dari kawalcorona.com, di Indonesia per 26 Maret 2020 jumlah kasus tercatat sebanyak 893 orang dinyatakan positif corona, sedangkan pasien yang dinyatakan sembuh sebanyak 35 orang, dan angka kematian tembus pada 78 orang. Berdasarkan data tersebut, menunjukkan bahwa kenaikan angka yang terjadi begitu drastis, semenjak virus ini mulai masuk ke Indonesia (02 Maret 2020). Tentu hal ini menjadi perhatian seluruh masyarakat Indonesia.

Dalam situasi seperti ini yang kita butuhkan adalah solusi dari para ahli, untuk kemudian mereka duduk bersama menjalankan keahlian dalam bidangnya, guna menemukan jalan keluar. Mulai dari ahli kesehatan, ahli ekonomi, agama, serta dunia industri obat bekerja bergotong royong sesuai bidangnya, misal ahli ekonomi menjalankan fungsinya untuk menemukan solusi, bagaimana supaya kedepannya covid-19 ini tidak sampai mengakibatkan krisis global, begitu juga dengan ahli-ahli lainnya.

Selain dari jalan keluar yang di tawarkan oleh para ahli, dengan tingkat penyebaran yang begitu cepat tentu diperlukan kesadaran dari setiap lapisan masyarakat untuk menjaga kesehatan diri masing-masing. Dalam hal ini himbauan pemerintah soal social distancing dan #Dirumahsaja tidak boleh diabaikan, sebab ini merupakan tindakan preventif yang harus dilakukan secara bersama-sama untuk mencegah penyebaran covid-19 yang lebih luas lagi. Jika hal ini diabaikan, maka secara berjamaah kita mengamini posisi kita masih jauh dari pentingnya memulihkan keadaan, tetapi tentu perlu dilihat lagi apa yang sebenarnya melatar belakangi sikap masyarakat kita yang seolah acuh terhadap covid-19 ini.

Melihat tingginya kasus yang terjadi di Indonesia, nampaknya negara belum siap dalam menghadapi pandemik covid-19, hal ini terbukti dari hilangnya semangat gotong-royong dalam menghadapi covid-19 yang terjadi, tenaga medis, ahli ekonomi, hingga ahli agama tidak bekerja bersma-sama, justru sebaliknya, tenaga medis yang berada di garda terdepan dengan jumlah terbatas sangat rentan terhadap penularan, sedangkan para ahli lainnya hanya sibuk membicarakan politik tanpa solusi.

Inilah yang menjadi persoalan, termasuk mengapa seoalah masyarakat acuh terhadap covid-19, salah satunya ialah faktor ekonomi yang mempengaruhinya.

Kebijakan yang menginstruksikan social distancing dan bekerja di rumah, merupakan langkah solutif untuk mencegah penyebaran virus ini. Akan tetapi, pemerintah melewatkan satu hal, jika PNS dan pekerja formal lainnya tidak ada masalah dengan kebijakan tersebut, pertanyaannya bagaimana dengan pekerja-pekerja informal ? pedagang kaki lima, tukang becak, penjual koran, tukang ojek, mereka terpaksa tidak bisa mengikuti kebijakan tersebut, sebab itulah pekerjaan sehari-hari mereka. Jika mereka tidak bekerja, tidak bisa untuk menghidupi keluarga, padahal listrik harus dibayar, air harus dibayar, sekolah anak-anaknya harus di bayar. Artinya, selain tenaga medis yang rawan terhadap penularan, pekerja informal juga merupakan elemen yang rawan terhadap penluaran, karena mereka bekerja di luar, maka kontak langsung dengan banyak orang tak dapat di hindari.

Disinilah pemerintah terlihat kurang siap menangani kasus covid-19, kebijakan yang dikeluarkan masih menyebabkan beberapa masayarakat mengalami kesulitan, terutama pekerja sektor informal.

Terlepas dari itu, mari mencoba sedikit beranjak dari dampak negatif virus corona tersebut. Di tengah kondisi pandemik seperti ini, sebagian besar masyarakat dunia terfokus pada virus tersebut tak terkecuali Indonesia, padahal di sisi lain masih banyak perosalan yang tak kalah pentingnya untuk kita kita kawal bersama seperti omnibuslaw, kondisi bumi kita, serta persoalan lainnya. Saat ini eksploitasi alam yang berlebihan, perubahan iklim yang dipicu oleh ancaman global warming, bayang-bayang bencara alam yang siap melibas siapa saja, penggundulan hutan dengan dalih pembangunan di tengah kompetisi pasar global, serta polusi udara akibat kendaraan bermotor, mau tidak mau memaksa manusia mencari jalan keluar demi memperpanjang usia bumi untuk kelangsungan kehidupan generasi setelah kita.

Untuk kondisi seperti ini, melihat bencana alam yang terjadi dengan berpikiran sudah takdirnya terjadi nampaknya perlu di cek kembali, pardigma dalam melihat suatu bencana alam harus bergeser dari takdir ke akibat, bencana alam harus dilihat sebagai akibat perilaku manusia yang berkontribusi memberikan beban besar dalam merusak alam.

Dalam catatan sejarah, kerusakan alam dengan jumlah yang besar di mulai sejak di cetuskannya revolusi industri pada rentan tahun 1750-1850, di mana terjadi perubahan secara besar-besaran dalam bidang manufaktur, teknologi, transportasi, dan pertanian. Kesemua itu secara tidak sadar sangat mempengaruhi keadaan bumi kita, dan keadaan ini berlangsung hingga revolusi industri 4.0 dengan maraknya pembangunan infrastruktur.

Kemajuan teknologi ini, menghantarkan kehidupan manusia pada pola yang serba mudah hingga secara perlahan budaya kearifan lokal mulai hilang di telan zaman. Di beberapa daerah pedesaan misal, kearifan lokal masih sangat bisa kita temui, tetapi sekali lagi, kemajuan teknologi telah mengubah paradigma masyarakat, sampai membawa pada titik dimana gengsinya anak muda menjadi petani, hingga fenomen hijrahnya petani menjadi buruh di kota, padahal mereka bisa berdikari dengan bertani.

Kembali pada titik persoalan, adanya komunitas lokal yang masih berpegang teguh pada kearifan lokal, turut memberikan dampak dalam menjaga kelestarian alam, maka keberadaan komunitas lokal tidak boleh dianggap sebagai sesuatu yang kuno, ketinggalan zaman, dan sebagainya.

Mengutip pendapat dari Vandana Shiva, bahwa akar krisis ekologi, terletak pada kelalaian pihak penguasa yang menyingkirkan hak-hak komunitas lokal untuk kemudian berpartisipasi secara aktif dalam kebijakan lingkungan, komunitas lokal selalu dilihat sebagai anak tirik dalam setiap proses pengambilan kebijakan, tidak diberikan ruang untuk berekspresi dengan aspirasinya, bahkan menjadi korban dalam setiap pembangunan.

Maka sudah sepantasnya, kita membangun kesadaran kolektif dalam merawat bumi, tanpa menegacuhkan isu-isu yang sedang terjadi hari ini.

Dalam konteks covid-19, penulis mencoba melihat sisi lain selain dampak negatifnya. Sisi lain tersebut ialah dampak positif terhadap kondisi bumi kita, andai saja ada yang mengukur kualitas udara di negara-negara terdampak corona dengan adanya kebijakan social disatncing atau bahkan lockdown, bisa jadi kualitasudara sedikit lebih baik, mengapa ? karena menurunnya jumlah penggunaan kendaraan bermotor.

Selain itu, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah Indonesia dengan tagar dirumah saja, bisa memberikan pelajaran bagi kita terhadap apa yang hari ini mulai di tinggalkan, yaitu budaya kearifan lokal, dalam masa kelangkaan bahan pangan, kita bisa melihat kembali dengan apa yang ada di sekitar kita, tanpa harus mengandalkan impor bahan makanan di pasar modern, kita bisa memanfaatkan apa yang ada di alam dalam batas normal. Singkatnya, menumbuhkan kembali interaksi dengan alam dalam membangun hubungan yang harmonis.

Kemudian lebih jauh lagi, andai saja pemerintah Indonesia mengeluarkan kebijakan lockdown, bisa di bayangkan berapa kerugian pabrik tekstil yang tidak beroprasi, pabrik kertas yang juga tidak beropreasi, pembangunan yang terhenti, serta kerugian pabrik-pabrik lainnya yang memanfaatkan sumber daya alam sebagai bahan utamanya. Tetapi di balik kerugian-kerugian pabrik itu, bisa di bayangkan berapa banyak kekayaan alam yang tidak di eksploitasi untuk kebutuhan pabrik-pabrik tersebut, berapa banyak hutan yang gagal di gunduli demi pembangunan-pembangunan infrastruktur.

Jika hal ini di kontekskan dalam gerakan, seperti penggalan puisi Wiji Thukul “…Sehari saja kawan, kapitalis pasti tumbang..” sehari tanpa ada eksploitasi, tanpa ada pabrik yang beroperasi, tanpa ada pesawat terabng yang beroprasi. Dan jika saja lockdown dilakukan, serta eksploitasi alam yang dihentikan mulai hari ini dan seterusnya, kita telah turut serta dalam misi penyalamatan bumi, demi kelangsungan hidup selanjutnya. Mari renungkan, salam lestari !

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *