Dialektika Wacana Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah: Perspektif Teoretis

Akhir-akhir ini, terdapat wacana mengenai gerakan Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM). Menggali perjalanan panjang IMM ini ditulis oleh segenap kader ikatan oleh Muh. Akmal Ahsan (Ketua Bidang RPK PC IMM AR Fakhruddin, Yogyakarta), Sirajuddin Bariqi (Ketua Bidang Perkaderan PC IMM Kab. Sleman, Yogyakarta), dan Ode Rizki Pratama (Ketua Bidang Riset dan Pengembangan Keilmuan IMM Malang Raya). Mereka, hemat penulis, sedang melakukan refleksi dan autokritik gerakan IMM dalam perkembangannya. Ada yang menyebut IMM dengan “Ikatan Mahasiswa Manja”, ada yang mengafirmasi-nya dengan “Kita Adalah Ikatan Mahasiswa “Muhammadiyah”, lalu diafirmasi lagi bahwa, “IMM Bukan Ikatan Mahasiswa Manja”.

Dalam merespons pemikiran Akmal, Sirajuddin, dan Ode yang dimuat Ibtimes.id, (30/10, dan 2/11/2019) ini sempat membuat penulis tersenyum dan senang. Alasannya;pertama, ini adalah bentuk dialektika wacana ikatan. Kedua, mereka melakukan upaya refleksi & autokritik pada Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah. Refleksi dan autokritik dilakukan dengan pemikiran mendalam, kritis, juga dengan pengalaman yang cukup panjang. Ketiga, mereka merawat tradisi literasi yang diwujudkan dengan tulisan-tulisan. Tulisan mereka, dalam kesempatannya, akan dapat memberi dampak bagi siapapun. Tulisan yang dengan—meminjam istilah Dialektika Hegel—memuat tesis, antitesis.Dengan begitu, tulisan ini muncul atas manifestasi cendekiawan ikatan.

Dalam konteks ini, tulisan adalah bentuk ekspresi, refleksi mendalam dari penulis akan realitasnya. Bahkan, menulis apapun selalu didasari dengan membaca. Itulah salah satu tradisi literasi, yang kini digiatkan oleh mereka. Hal ini patut diapresiasi. Upaya tersebut (membaca-menulis) adalah upaya yang menurut penulis, perlu digelorakan dalam rangka perbaikan di masa yang akan datang.

Dialektika Wacana Ikatan: Tesis &Antitesis

Diawali dengan tulisan (tesis) Akmal yang berjudul “Ikatan Mahasiswa Manja” ini, selanjutnya direspons (antitesis) oleh dua kader ikatan yakni Bariqi& Ode. Bariqi & Ode melakukan antitesis terhadap tesis yang dibuat oleh Akmal.

Sebagaimana penulis kutip dalam tulisan Akmal yang mengatakan, “Menurut saya, ikatan ini belum dapat sama sekali disebut sebagai organisasi yang mandiri, berdiri di atas kaki sendiri.” Jika menggunakan kata “menurut” artinya ia sedang mengatakan bahwa narasi atau fenomena ditangkap/respons oleh dirinya sendiri. Ihwal dalam proses komunikasi, hal ini adalah sah/boleh (sebagai suatu proses penyampaian pesan). Akan tetapi, pesan itu harus proporsi, dan tidak melakukan proses generalisasi tanpa data yang kuat. Alasannya, generalisasi adalah sesuatu (satu kesimpulan umum dari satu hal atau kejadian tertentu) yang mana tidak boleh dilakukan ketika tidak ada data-data, fakta pendukung yang komprehensif, dan sifatnya analitis, seperti halnya riset. Penempatan generalisasi dalam tulisan umum seperti esai/opini nampaknya tidak cukup tepat.

Maka dari itu, jika ditinjau dalam riset; tulisan harus bersifat ilmiah yakni berbasis data, ada metode, lalu dianalisis dan dibahas dengan teori dan konsep. Karya ilmiah yang lainnya seperti artikel ilmiah, skripsi, dan lain-lain pun demikian, perlu data-data yang relevan dan tidak melakukan generalisasi tanpa data-data yang ada, dan data pendukung lainnya seperti adanya State of the Art (penelitian terdahulu) dalam karya ilmiah.

Lebih lanjut, antitesis Bariqi& Ode atas tesis Akmal, IMM bukanlah manja, namun memiliki segenap kemandirian-kemandirian dalam dirinya (IMM). Selain itu, Bariqi & Ode juga dengan jelas mengatakan, bahwa tulisan Akmal adalah upaya menggeneralisasi persoalan di IMM. Bariqi menyebut bahwa, IMM bukan sebatas organisasi otonom yang berada di Perguruan Tinggi Muhammadiyah (PTM). Melainkan ada di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), atau Perguruan Tinggi Swasta (PTS).Lalu, Bariqi juga mengutip cerita Ibunda Elyda Djazman mengenai jatuh bangunnya mencari dana ke masyarakat untuk terselenggaranya Muktamar pertama IMM itu. Mengutip dalam Bariqi, “Muktamar IMM pertama (Solo, 1965), yang menghasilkan Deklarasi Kota Barat. Ada yang menyumbang uang, beras, jajanan, minuman, dan lain-lain.”

Dalam sisi lain, bahwa dengan adanya antitesis Bariqi ini memberi pengetahuan baru bagi kader ikatan dimanapun berada. Dengan maksud ini, selain upaya antitesis Bariqi, segenap kader ikatan mendapat wawasan baru tentang tapak tilas sejarah ikatan, yang ketika dibalik terselenggaranya Muktamar IMM yang perdana itu, ada perjuangan keras yang dilakukan oleh para generasi awal IMM.

Selain itu, kita dikenalkan seperti yang dikutip oleh Bariqi tentang kualitas kader, dan kemandirian yang multi-dimensi maknanya, salah satunya kemandirian bukanlah persoalan ekonomi saja, melainkan tentang kemandirian bersikap.Kalau boleh penulis menambahkan, yakni kemandirian untuk menampilkan dialog/wacana dari ilmu yang telah didapat (disiplin ilmu masing-masing kader), dan ilmu umum yang dimiliki dengan wujud tulisan, saat dialog-dialog ilmiah, maupun padasaat kehidupan nyata di tengah masyarakat (praktik ilmu amaliah, amal ilmiah).

Sementara, antitesis juga dibuat oleh Ode. Ode mencoba membatah argumentasi Akmal dengan dua poin yaitu persoalan logika pernyataan kawan HMI yang dikutip oleh Akmal tentang, “Ikatan Mahasiswa Manja”, yang pada akhirnya, Akmal mencoba mencari jawaban atas pernyataan tersebut. Logika Akmal, dikatakan oleh Ode adalah keliru. Menurut Ode, pernyataan tidaklah butuh jawaban.Baginya, pernyataan dibutuhkan bukti argumentatif (dukungan jika setuju, atau sebalinya jika tidak setuju), yang mana ini ia merujuk buku logika.

Lanjut Ode, ia juga mengatakan bahwa narasi yang dibawa oleh Akmal itu melompat dan bukti yang minim. Namun, sekali lagi, kader ikatan akhirnya mendapat suplemen (wawasan) tambahan dengan Ode mengatakan dalam perspektif studi kasus di IMM Malang Raya yang dengan bagaimana dapat bertahan (survive) di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), dan lain sebagainya.

Perspektif Teori Komunikasi: Meninjau Pusaran Wacana Ikatan

Gary P. Radford dalam bukunya yang berjudul On the Philosophy of Communication (2005), pada bagianpertama pembahasan bukunya, Gary (2005) mencoba melakukan pendefinisian mengenai komunikasi. Komunikasi, dalam konteks ini agaknya dapat digambarkan dengan wacana dialektika ini (wacana dialektika Akmal, Bariqi, Ode). Menurut Gary (2005), komunikasi dipandang sebagai proses transmisi (proses pertukaran ide, pesan). Sebagaimana dalam pengamatan Barnett Pearce bahwa, “jika Anda meminta sepuluh orang pertama di jalan untuk mendefinisikan ‘communication,’ kesepuluh kemungkinan akan memberikan beberapa versi dari apa yang kita sebut sebagai teori transmisi”. Artinya, komunikasi adalah proses pertukaran ide, dengan kata lain, adalah proses di mana pesan dikirimkan ke orang lain.

Hal tersebut senada dengan komunikasi (dalam media online yang diwujudkan dalam bentuk tulisan esai) yang dilakukan oleh Akmal, Bariqi, dan Ode. Mereka dalam perspektif penulis, sedang melakukan apa yang disebut oleh Gary (2005) dalam konstruksi awal bukunya—komunikasi sebagai proses transmisi. Proses transmisi ini adalah lumrah terjadi disetiap orang yang berkomunikasi.

Lebih lanjut, komunikasi dimulai dengan ide atau pemikiran untuk kemudian dikomunikasikan. Hal ini nampaknya seperti para filsuf mempertanyakan sesuatu seperti Descartes, Locke, Kant yang menanyakan, “Apa itu ide?  Apa itu pengetahuan?Bagaimana pikiranku mewakili apa yang ada di sekitarku ?, dan lain sebagainya.” Jadi, kembali menegaskan bahwa ide, gagasan, yang berada dalam otak, kemudian ditransmisikan kepada orang lain. Dalam konteks ini, alasan penulis patut mengapresiasi tulisan intelektual Akmal, Bariqi, dan Ode adalah mereka melakukan proses transmisi pesan dengan membawa narasinya, dan sekali lagi, itu lumrah terjadi dalam konteks komunikasi.

Menurut penulis, pernyataan adalah sebuah ide, gagasan, yang kemudian ditransmisikan. Barangkali disitu (kala Akmal dengan kawan HMI berdialog) memberi pernyataan yang pada waktu mendatang akan berujung pada pembuktian. Barangkali ketika pernyataan (Ikatan Mahasiswa Manja) itu muncul, akhirnya terbenam & berputar-putar, dalam hal ini mendorong pada diri Akmal (mungkin) perlu untuk membuktikan,bahwa IMM manja dengan alasan-alasan yang melatarbelakanginya.

Senada dengan Ode, bahwa logika pernyataan, tidak butuh jawaban. Jawaban dibuat ketika ada pertanyaan. Namun, jika dalam konteks komunikasi, terdapat pertimbangan bahwa sebuah pesan komunikasi dapat memengaruhi pikiran lawan komunikasi/aktor komunikasinyasecara langsung, maupun tidak langsung, dalam waktu singkat/pendek atau dalam waktu panjang. Kemudian, hal ini dapat memicu/mendorong aktor komunikasi tersebut untuk menerima pernyataan, atau mencari bukti kenapa pernyataan (yang dilontarkan oleh kawan HMI Akmal yang menyebut Ikatan Mahasiswa Manja) tersebut muncul secara lisan (komunikasi verbal). Akhirnya, dalam satu titik tertentu, Akmal dengan setuju mengatakan, IMM adalah Ikatan Mahasiswa Manja dan menguraikan alasan-alasannya.

Dengan Akmal sepakat bahwa IMM adalah organisasi yang manja dan alasan-alasannya, sehingga ia sampai pada satu pertanyaan bahwa, “Benarkah IMM manja? Itu rumusan persoalan dasar untuk memandang tapak gerakan IMM.”Itu adalah Akmal yang sedang melakukan transmisi pesan yang kemudian, disampaikan olehnya melalui media daring Ibtimes.id. Proses penyampaian pesan akmal yaitu pertama, adalah keresahan pada ikatan dengan bentuk sepakat bahwa IMM itu manja, dan membuat pertanyaan baru: benarkah IMM manja? Dan mencari alasan yang mendasarinya. Dengan begitu, kerangka kognitif yang dibangun oleh Akmal adalah upaya menjelaskan—yang bagi penulis adalah reflektif—kenapa IMM sampai dikatakan “manja”. Hal ini tidaklah menurut saya salah, selagi terdapat data-data empirik, bisa dengan riset, dan sebagainya.

Disisi lain, timbul pertanyaan, apakah boleh pernyataan, yang dalam kesempatan lain, akan memicu adanya pertanyaan baru yang muncul dibenak pikiran orang seperti yang diungkap dalam tulisan Akmal? Dapat dijawab adalahmemungkinkan dapat terjadi. Lalu, pertanyaan selanjutnya, bagaimana pendapat, dan umpan balik dari pembaca (bentuk respons tulisan Akmal dari pembaca) ?Hal ini dapat dijawab dengan analogi proses transmisi dalam pengamatan Barnett Pearce yang dikutip oleh Gary P. Radford (2005) diatas. Jelasnya, respons dari pembaca/publik pasti beragam, karena proses transmisi memungkinkan itu terjadi. Tidak semua ide, gagasan (pesan) yang disampaikan oleh komunikator, dapat diterima “sama makna/sesuai keinginan komunikator” oleh lawan komunikasi/aktor komunikator.

Akmal menulis pertanyaan, lalu ia menulis pembuktiaannya bahwa IMM itu manja dengan penjelasan argumentatif. Akan tetapi, penulis sangat menyayangkan tidak adanya data-data pendukung, maupun hasil riset, dan tiba pada satu generalisasi. Hal ini bagi penulis, adalah sesuatu yang keliru. Sekali lagi, jika dalam kerangka proses transmisi, Akmal sedang melakukan hal itu, dan boleh saja. Namun, dalam konteks membangun narasi, perlu data-data untuk mendukung narasi tersebut, dan tidak men-generalisasi-kan satu kondisi tertentu tanpa data akurat/melalui pengamatan riset.

Komunikasi sebagai Proses Kompleks

Berikutnya, berbicara mengenai proses komunikasi. Proses memaknai pernyataan itu kompleks. Maka dari itu, oleh para pakar komunikasi sepakat, bahwa komunikasi adalah sesuatu yang kompleks. Oleh sebab itu, jangan heran komunikasi memiliki diskursus, teori-konsep, bahkan menjadi studi ilmu komunikasi tersendiri dan diajarkan di berbagai universitas nasional dan internasional.

Sebagai seorang cendekiawan, saya sekali lagi meng-apresiasi terhadap ketiga kader ikatan yang berani melakukan refleksi dan autokritiknya terhadap perjalanan IMM-nya. Namun, sebagai seorang cendekiawan, kita patut juga memerhatikan tulisan kita secara utuh. Jika dalam tulisan itu harus memerhatikan titik, dan koma. Tanpa mengurangi substansi tulisan, kerap ditemui dalam tulisan Akmal, dan Bariqi yang masih belum dikatakan sesuai dalam konstruksi penulisan bahasa Indonesia seperti, masih banyak kesalahan kata atau dikenal dengan typo, dan kurangnya menempatkan tanda baca “,” koma. Kiranya hal ini amat penting bagi seorang cendekiawan.

Akhir kalam, Kata dan tanda menjadi satu kesatuan sebagai alat komunikasi. Menjadi amat penting ketika individu memahami dua pemahaman ini, yakni; semua orang memiliki frame of knowledge (bingkai atau bidang pengetahuan) & frame of reference-nya (bidang referensi/pengalaman) masing-masing. Sejujurnya, apa yang dimaksudkan diatas adalah upaya untuk memahami bahwa, ketika semua orang memiliki frame of knowledge & frame of reference, lalu ditempatkan dengan aktualisasi sikap yang bijaksana. Wallahu a’lam bishawab.

Daftar Referensi:

Radford, Gary P.  (2005). On the Philosophy of Communication. USA: Thomson Wadsworth.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *