Pemilu 2019: Wajah Demokrasi dan Persatuan Kita
Oleh :
Muhammad Saiful Aziz
(Ketua Bidang Hikmah PC IMM AR Fakhruddin Kota Yogyakarta)
Tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) secara resmi telah dinyatakan paripurna. Diputuskannya sengketa Pemilu oleh Hakim Mahkamah Konstitusi pada hari 27 Juni lalu menjadi proses akhir dengansifat keputusan mahkamah yang final dan mengikat. Serangkaian proses panjang Pemilu 2019 telahdijalani mulai dari pembentukan Panitia Pengawas Pemilu (Panwaslu)pada 30 September 2017 hingga penetapan pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden terpilih pada 30 Juni 2019.
Secara umum tahapan Pemilu 2019 dinilai banyak menimbulkan kompleksitas. Hal tersebut dimulai dari diadakannya Pemilu yang secara perdana dilaksanakan secara serentak baik DPRD tingkat I dan II, DPR, dan DPD beserta Calon Presiden dan Wakil Presiden yang sehingga dalam Pemilu ini secara bersamaan menyediakan empat macam pemilihan dan penghitungan. Selain itu banyaknya petugas Kelompok Panitia Pemungutan Suara (KPPS) yang meninggal dunia hingga dikabarkan mencapai jumlah 400 orang dikarenakan beban kerja yang cukup tinggi menjadi fenomena yang baru terjadi di Pemilu 2019 ini.
Namun di sisi lain Pemilu 2019 memiliki peningkatan angka partisipasi pemilih yang cukup baik. Sebagaimana disampaikan oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) bahwa angka partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 ini mencapai 81 persen atau mengalami peningkatan pemilih hingga 10 persen dibandingkan dengan Pemilu 2014 lalu. Hal tersebut tentunya cukup positif karena menandakan bahwa terjadi peningkatan kesadaran dalam partisipasi masyarakat sehingga kesadaran masyarakat dalam berdemokrasi dapat dinilai meningkat. Selain itu disiarkannya sidang sengketa Pemilu Presiden dan Wakil Presiden menjadi preseden yang cukup positif atas disediakannya ruang-ruang pengawasan publik bagi proses-proses Pemilu yang sedang berjalan.
Adapun Pemilu 2019 ini memunculkan beberapa fenomena yang cukup berbeda dibandingkan dengan Pemilu sebelumnya. Hal pertama yang menguat adalah fragmentasi yang cukup dalam pada masyarakat. Proses Pemilu berjalan cukup panjang terutama masa kampanye yang meningkat cukup drastis dari Pemilu 2014 yang hanya berjalan kurang dari empat bulan,pada Pemilu 2019 ini menjadi delapan bulan. Lamanya proses tersebut secara tidak langsung ternyata menciptakan fragmentasi yang cukup dalam pada masyarakat. Selain itu fragmentasi yang terbentuk semakin parah dengan menguatnya berbagai isu keagamaan yang belakangan secara tajam menguat. Friksi-friksi yang terbentuk di masyarakat terutama terkait dengan isu keagamaan pada akhirnya memunculkan seakan-akan pilihan Pemilu adalah soal hitam atau putih, surga atau neraka. Padahal idealnya Pemilu adalah sebuah kontestasi visi, misi,gagasan, serta rekam jejak dan pengalaman yang ditawarkan kepada masyarakat sehingga hal-hal tersebut yang idealnya menjadi landasan bagi masyarakat dalam menentukan pilihan. Namun pada Pemilu 2019 ini hal-hal tersebut justru kurang nampak dan pada akhirnya sentimen lebih menjadi landasan dalam memilih dibandingkan dengan visi, misi, rekam jejak, ataupun gagasan. Maka penulis menilai penggunaan sentimen sebagai landasan dalam memilih sangatlah tidak ideal.
Selain itu fragmentasi yang terbentuk semakin mengkhawatirkan karena adanya angka Presidential Treshold yang cukup tinggi. Tingginya angka Presidential Treshold yang pada Pemilu ini mencapai angka 20% pada realitasnya justru hanya dapat memunculkan dua pasangan calon saja dengan Calon Presiden yang sama yang bertarung di Pemilu 2014. Hal tersebut tentunya sangat tidak sehat bagi demokrasi kita karena akan mempersempit munculnya calon-calon alternatif yang dengan banyaknya variasi pilihan, diharapkan dapat memberikan pilihan calon serta gagasan yang lebih banyak serta kontestasi yang lebih sehat dibandingkan dengan hanya dua pasangan calon yang diperparah dengan tidak adanya pilihan Calon Presiden yang baru.
Selain itu munculnya Presidential Treshold yang tinggi dinilai menjadi kecolongan karena diusulkannya desain Pemilu serentak anggota legislatif dan presiden dan wakil presiden sejatinya bertujuan agar Presidential Treshold dapat didesain nol persen dikarenakan Pemilu legislatif dan Presiden serta Wakil Presiden dilaksanakan secara bersamaan yang sebelumnya dilaksanakan dalam jarak waktu tertentu. Adapun yang justru terjadi meski telah diadakannya Pemilu serentak, namun justru Presidential Treshold yang seharusnya tidak dapat diterapkan karena belum dilaksanakannya Pemilu legislatif, justru diambil dari hasil Pemilu legislatif 2014. Hal tersebut tentunya sangatlah tidak sehat bagi iklim demokrasi kita karena justru akan menutup ruang bagi partai-partai baru yang baru berlaga pada Pemilu 2019 karena secara otomatis partai-partai tersebut tidak akan memiliki Treshold karena belum berlaga pada tahun 2014. Selain itu hal tersebut juga sangat tidak tepat karena seharusnya hasil Pemilu 2014 hanya dapat digunakan pada Pemilu 2014 dan bukan digunakan kembali pada Pemilu selanjutnya.
Dampak selanjutnya dari tingginya angka Presidential Treshold tersebut adalah menjadikan fragmentasi yang tercipta pada masyarakat menjadi sangat dalam. Dengan adanya pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden yang hanya dua, maka secara otomatis masyarakat akan terbelah menjadi dua. Hal tersebut yang akan menciptakan sebuah keadaan dimana masyarakat pada tataran akar rumput seakan-akan saling berhadapan antara satu kubu dengan lainnya. Hal ini sebagaimana penulis sampaikan sebelumnya semakin diperparah dengan lamanya proses kampanye yang meningkat dua kali lebih lama sehingga fragmentasi yang muncul pada masyarakat pun terbentuk lebih dalam.
Selanjutnya pada Pemilu 2019 ini diwarnai dengan berbagai dampak dari adanya fenomena post truth yang belakangan cenderung menguat. Secara definisi, Kamus Oxford mendefinisikannya dengan kondisi dimana fakta tidak terlalu berpengaruh dalam membentuk opini publik dibanding emosi dan keyakinan personal. Hal tersebut nampaknya terlihat dengan jelas pada Pemilu 2019 ini. Dalam Pemilu 2019 ini terdapat realitas dimana banyak dilemparkannya klaim-klaim sepihak oleh pasangan calon yang sebenarnya tidak dilandaskan pada fakta empirik,namun klaim-klaim tersebut pada akhirnya dapat terkonstruksi seolah-seolah sebagai kebenaran yang faktual dan dipercaya oleh masyarakat.
Adapun pola-pola tersebut kemudian diidentifikasi sebagai sebuah teknik yang disebut dengan Firehose of Falsehood (FoF). Teknik ini menggunakan sebuah pola yang disebut dengan obvious lies atau kebohongan tersurat yang didesain untuk membangun ketakutan tertentu. Teknik ini dinilai sangat efektif karena memengaruhi bagian otak yang disebut amygdala, yakni bagian otak yang mendeteksi rasa takut dan mempersiapkan diri pada kondisi darurat. Teknik propaganda ini yang kemudian dapat memenangkan Donald Trump sebagai Presiden Terpilih Amerika Serikat dan keluarnya Inggris Raya dari Uni Eropa atau yang dikenal dengan Brexit.
Maka pasca dilaksanakannya Pemilu ini, pada akhirnya seharusnya mampu menjadi evaluasi bagi kita untuk mengukur seberapa baik kualitas demokrasi yang kita miliki. Plato dan Aristoteles menamakan politik sebagai en dam onia atau the good lifeyang berarti bahwa politik bertujuan untuk melindungi dan mencapai tujuan masyarakat yang sejahtera. Maka pendapat Plato dan Aristoteles tersebut sejatinya dapat kita gunakan sebagai indikator arah berjalannya politik kita. Hal yang selanjutnya muncul adalah pertanyaan bahwa apakah politik di Indonesia tentunya melalui Pemilu ini telah dapat menciptakan masyarakat yang sejahtera? Ataukah politik kita pada akhirnya hanya menciptakan fragmentasi-fragmentasi yang pada akhirnya justru merusak pondasi persatuan kita? Maka apabila justru arah politik kita hanya menuju pada hal-hal yang destruktif, maka mari berpikir ulang tentang manfaat dari alokasi anggaran senilai 24,7 Triliun yang telah keluar dari negara yang bersumber salah satunya dari pajak yang kita keluarkan sendiri. Maka pada akhirnya kita harus menyadari untuk menghentikan segala permusuhan. Pasca Pemilu ini, tugas kita baik pendukung pasangan calon terpilih ataupun bukan adalah mengawal pemerintahan dengan kritik-kritik yang konstruktif agar negara dapat mewujudkan visi besarnya yakni mewujudkan cita-cita kemerdekaan.